Eksistensi Perjanjian Diam-Diam (Silent Agreement)

Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Mahkamah Agung merekognisi eksistensi perjanjian diam-diam, salah satunya melalui putusan Nomor 2178 K/Pdt/2008 antara PT Dwi Damai sebagai penggugat melawan PT Philips Indonesia sebagai tergugat. Duduk permasalahan bermula dari perjanjian distributorship tanggal 8 Maret 2002 yang berisi penunjukan PT Dwi Damai sebagai distributor resmi merek Philips di wilayah Indonesia. Perjanjian tersebut berlaku hingga tanggal 31 Desember 2003 dengan opsi perpanjangan selama tiga tahun jika tidak ada pemberitahuan tertulis dari para pihak untuk mengakhiri kerja sama.

Pada tanggal 20 Oktober 2004, PT Philips Indonesia mengeluarkan penunjukan distributor baru yang mengecualikan PT Dwi Damai. Terhadap penunjukan tersebut, PT Dwi Damai menggugat dengan alasan bahwa PT Philips Indonesia telah melanggar ketentuan angka 2 perjanjian distributorship tanggal 8 Maret 2002. Isi dari klausul tersebut menyebutkan jika salah satu pihak hendak mengakhiri perjanjian, maka ia harus memberitahukan pihak lain sekurang-kurangnya 90 hari sebelum perjanjian berakhir. PT Dwi Damai juga berargumen toh hubungan distributorship dengan PT Philips Indonesia masih berlangsung selama sembilan bulan sejak perjanjian tanggal 8 Maret 2002 berakhir pada tanggal 31 Desember 2003 sehingga telah terjadi perjanjian diam-diam.

Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak seluruh gugatan PT Dwi Damai dan dikuatkan pula pada tingkat banding oleh PT Jakarta. Akan tetapi di tingkat kasasi, Mahkamah Agung justru memenangkan PT Dwi Damai dan menyatakan PT Philips Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum sekaligus wanprestasi. Akibatnya, PT Philips Indonesia dihukum untuk membayar ganti rugi sejumlah Rp3.186.000.000,00 (tiga milyar seratus delapan puluh enam juta rupiah) kepada PT Dwi Damai. Mahkamah Agung beralasan bahwa judex factie telah keliru menerapkan hukum karena:

  • Tidak ada pemberitahuan dari PT Philips Indonesia bahwa perjanjian distributorship tidak akan dilanjutkan setelah tanggal 31 Desember 2003. Lagi pula terbukti bahwa hubungan dagang antara PT Dwi Damai dan PT Philips Indonesia terus berlangsung selama sembilan bulan setelah bulan Desember 2003;
  • Klausul perjanjian dalam paragraf 2 angka 2 dirumuskan dalam kalimat negatif sehingga harus dibaca bahwa perjanjian dianggap diperpanjang kecuali salah satu pihak memberitahukan kepada pihak lain. Ternyata, perjanjian tidak diperbaharui dalam jangka waktu 90 hari sebelum berakhir. Dengan demikian, PT Philips Indonesia melakukan perbuatan melawan hukum;
  • PT Philips Indonesia harus mengganti 50% dari tuntutan materiil sebagai pengganti biaya-biaya operasional yang telah dikeluarkan PT Dwi Damai selama sembilan bulan beroperasi.

Menariknya, putusan kasasi tersebut diwarnai pula dengan dissenting opinion oleh hakim ketua majelis dengan alasan sebagai berikut:

  • Bahwa alasan-alasan kasasi hanya berupa PHP (pembuktian mengenai hasil pemeriksaan di persidangan) yang tidak tunduk pada kasasi;
  • Perjanjian distributorship berlaku dari tanggal 1 Januari 2002 sampai dengan tanggal 31 Desember 2003. Karena PT Dwi Damai dan PT Philips Indonesia tidak terbukti memperpanjang jangka waktu perjanjian distributorship, dengan demikian perjanjian tersebut berakhir pada tanggal 31 Desember 2003. Ketidaksepakatan untuk memperbarui perjanjian bukan berarti perjanjian yang lama tetap berlaku;
  • Dengan demikian permohonan kasasi dari PT Dwi Damai harus ditolak.

Menurut penulis, duduk perkara dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2178 K/Pdt/2008 sebenarnya bukanlah murni perjanjian diam-diam. Penyebabnya adalah karena klausul untuk memperpanjang perjanjian sebenarnya sudah secara tegas tercantum dalam perjanjian distributorship tanggal 8 Maret 2002, akan tetapi dirumuskan dalam kalimat negatif. Akibatnya, perbuatan pasif berupa “tidak memperpanjang perjanjian” seakan-akan diterjemahkan sebagai perjanjian diam-diam walaupun nyatanya hubungan distributorship masih berlangsung setelah perjanjian berakhir. Padahal dalam Pasal 1347 BW, klausa diam-diam seharusnya bersumber dari kebiasaan. Lengkapnya adalah sebagai berikut: “Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam persetujuan.”

Penting untuk membedakan perjanjian diam-diam dengan alat bukti pengakuan karena berbagai diskursus informal yang pernah penulis ikuti sering kali keliru menyamakan keduanya sebagai hal yang sama. Menurut Sudikno Mertokusumo dan Yahya Harahap, jenis pengakuan terdiri atas pengakuan murni, berklausul, dan berkualifikasi. Pengakuan berklausul dan berkualifikasi inilah yang memiliki karakteristik hampir serupa karena membenarkan sebagian klaim pihak lawan, akan tetapi membantah, menambahkan, atau membebaskan sebagian klaim yang lain pada satu dalil yang sama. Bandingkan dengan referte, yaitu tidak membantah maupun membenarkan dalil pihak lawan, melainkan menyerahkan sepenuhnya pada penilaian hakim.

Tulisan ini dimuat dalam: https://badilum.mahkamahagung.go.id/berita/majalah-dandapala/3404-majalah-dandapala-volume-vii-edisi-43-september-oktober-2021.html