Gugatan Wanprestasi Tidak Harus Menunggu Jangka Waktu Kredit Berakhir

Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Menurut J. Satrio, wanprestasi adalah suatu kondisi ketika debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dipersalahkan kepadanya. Wujud wanprestasi dapat berupa: 1) debitur sama sekali tidak berprestasi; 2) debitur keliru berprestasi; 3) debitur terlambat berprestasi. Pada praktik bisnis perbankan, bank sebagai pemberi kredit disebut sebagai kreditur, sedangkan nasabah sebagai penerima kredit disebut sebagai debitur.

Dalam jawaban terhadap gugatan wanprestasi suatu akad kredit, debitur sering kali menyertakan eksepsi gugatan prematur karena jangka waktu pembiayaan belum jatuh tempo. Misalnya pada suatu kredit pemilikan rumah yang memiliki jangka waktu angsuran selama 180 bulan, debitur sudah tidak mampu membayar angsuran pada bulan ke-13. Oleh karena itu, kreditur mengajukan gugatan wanprestasi pada bulan ke-20 atau sebelum jatuh tempo pada bulan ke-180. Terhadap ilutrasi perkara tersebut, ada pendapat yang menyatakan bahwa gugatan memang prematur karena jangka waktu kredit belum jatuh tempo, sedangkan pendapat lain menyatakan hakim dapat saja mengabulkan gugatan wanprestasi tanpa harus menunggu jangka waktu kredit berakhir.

Pasal 1269 KUHPer menyatakan: “Apa yang harus dibayar pada waktu yang ditentukan itu, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba; tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu, tak dapat diminta kembali.” Sekilas, tampak bahwa pasal tersebut seakan membenarkan dalil gugatan wanprestasi seperti ilustrasi di atas adalah prematur karena gugatan diajukan sebelum jatuh tempo pembiayaan pada bulan ke-180. Akan tetapi menurut interpretasi penulis, penafsiran frasa “tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba” pada Pasal 1269 KUHPer tidak perlu diartikan secara kolektif hingga jatuh tempo bulan ke-180. Alasannya karena bukankah sejak bulan ke-13 hingga bulan ke-20 debitur memang sudah wanprestasi karena sama sekali tidak membayar angsuran? Artinya, lebih adil untuk memaknai waktu penagihan pada Pasal 1269 KUHPer secara parsial karena toh akad kredit sendiri menentukan bahwa debitur berkewajiban untuk membayar angsuran setiap bulan. Argumentasi penulis selaras pula dengan Rumusan Hukum Kamar Agama Tahun 2016 angka 3 yang menyatakan: “Hak tanggungan dan jaminan utang lainnya dalam akad ekonomi syariah tetap dapat dieksekusi jika terjadi wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang diperjanjikan setelah diberi peringatan sesuai ketentuan yang berlaku.” Walaupun pengadilan agama merupakan lingkungan peradilan yang berbeda dengan pengadilan negeri, akan tetapi inti dari kaidah hukumnya tetap relevan, yaitu apabila terjadi wanprestasi, jaminan pembayaran utang tetap dapat dieksekusi tanpa harus menunggu berakhirnya jangka waktu pembayaran. Syaratnya, debitur sebelumnya telah diberikan peringatan yang akan menjadi pembahasan pada paragraf selanjutnya.

Pernyataan Lalai

Dalam perikatan dengan ketetapan waktu, sejak kapan debitur dinyatakan wanprestasi? Pasal 1238 KUHPer berbunyi: “Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Dengan kata lain, pasal tersebut memberi celah bagi kreditur untuk mem-bypass jangka waktu berakhirnya kredit supaya debitur dinyatakan wanprestasi melalui pernyataan lalai (ingebrekestelling). Teguran ini disebut sebagai somasi (sommatie). Dalam praktik perbankan, bentuk pernyataan lalai terwujud dalam surat peringatan atau surat pemberitahuan yang berisi perintah atau teguran untuk membayar sejumlah uang sebelum jangka waktu tertentu. Biasanya, pihak bank akan terlebih menyurati debitur dengan suatu peringatan atau teguran hingga tiga kali sebelum akhirnya menggugat di pengadilan. Salah satu kaidah dalam SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgelijk Wetboek Tidak sebagai Undang-Undang bahkan menyatakan: “Mahkamah Agung sudah pernah memutuskan, diantara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat di anggap sebagai penagihan, oleh karena si tergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.” Dalam hal ini, Mahkamah Agung berpendapat bahwa surat gugatan dipersamakan dengan surat pernyataan lalai karena tergugat dianggap memiliki waktu cukup untuk melunasi utang sebelum hari persidangan.

Win-Win Solution

Dalam ilustrasi di awal, konsekuensi dari gugatan wanprestasi diajukan sebelum jatuh tempo tentu saja adalah kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan seluruh bunga kredit hingga dari bulan ke-13 hingga bulan ke-180, melainkan hanya terbatas pada bulan ke-13 hingga bulan ke-20. Akan tetapi, sisa pokok tetap dapat dituntut penuh terlepas kapan pun debitur dinyatakan wanprestasi. Dari sudut pandang kreditur, solusi ini akan jauh lebih masuk akal dari pada mesti menunggu jangka waktu kredit berakhir selama pokok pembiayaan dapat kembali. Apalagi sebagai lembaga intermediasi, bank memiliki tanggung jawab penyaluran dana pihak ketiga berupa simpanan masyarakat kepada unit usaha demi menggerakkan sektor riil. Oleh karena itu, akan sangat tidak adil untuk menolak tuntutan kreditur hanya karena alasan belum jatuh tempo, apalagi jika jangka waktu kredit memiliki durasi panjang dari sepuluh hingga dua puluh tahun seperti pada kredit pemilikan rumah. Dari perspektif debitur, nasabah peminjam pun hanya dibebani bunga sepanjang ia telah dinyatakan lalai tanpa perlu membayar penuh bunga sebagaimana jika ia digugat setelah jangka waktu kredit berakhir.