Perbedaan Antara Barang Bukti dan Alat Bukti

Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Berikut adalah beberapa perbedaan substantif antara barang bukti dan alat bukti dalam hukum acara pidana:

1. Definisi

KUHAP tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai definisi barang bukti maupun alat bukti. Akan tetapi, Pasal 39 (1) KUHAP menguraikan mengenai benda yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu: a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Selanjutnya, Penjelasan Pasal 46 ayat (1) KUHAP menyatakan benda yang dikenakan penyitaan diperlukan pemeriksaan sebagai barang bukti. Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa barang bukti adalah benda yang disita dan diajukan ke persidangan untuk keperluan pembuktian.

Menurut saya, definisi alat bukti adalah segala objek yang ditentukan secara limitatif dalam UU untuk membuktikan seseorang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Alat bukti yang diakui KUHAP hanya restriktif dalam wujud: a) keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat; d) petunjuk; dan e) keterangan terdakwa.

Selain alat bukti dalam KUHAP, Pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menambahkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya sebagai perluasan dari alat bukti yang sah. Di samping itu, bukti elektronik juga tercantum pada Pasal 26 A UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor “dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”. Saya menafsirkan bahwa khusus dalam perkara tipikor yang bersifat lex specialist, alat bukti elektronik harus dimaknai sebagai alat bukti petunjuk, sedangkan dalam perkara selain tipikor, alat bukti elektronik dimaknai sebagai alat bukti keenam selain: a) keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat; d) petunjuk; dan e) keterangan terdakwa.

Dalam hal hakim menilai perbuatan yang didakwakan tidak terbukti sah dan meyakinkan, maka penilaian tersebut wajib berdasarkan pula atas alat bukti sesuai ketentuan dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Kondisi ini merupakan konsekuensi atas penerapan teori pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijs theorie) yang dianut KUHAP.

2. Wujud

Barang bukti selalu berwujud benda materi konkret yang berhubungan dengan suatu tindak pidana. Misalnya adalah gawai, TV, dan uang tunai yang merupakan hasil dari tindak pidana pencurian; pisau, pistol, dan tali yang digunakan untuk menghilangkan nyawa; kunci duplikat, surat palsu, dan seragam palsu yang khusus sengaja dibuat untuk menipu; serta sidik jari, cairan sperma, selongsong peluru dan segala hal yang memiliki hubungan dengan tindak pidana. Wujud barang bukti tidak ditentukan secara limitatif dalam UU selama ia memiliki relevansi dengan perkara pidana.

Alat bukti umumnya tidak memiliki wujud dan bersifat abstrak, kecuali surat yang memiliki wujud fisik. Keterangan saksi, keterangan ahli, beserta keterangan terdakwa tentu tidak berwujud, walaupun keterangan tersebut pasti diberikan oleh orang berwujud di dalam persidangan. Pasal 184 KUHAP menentukan bahwa yang merupakan objek alat bukti adalah keterangan yang diberikan oleh orang tersebut, dan bukan orang yang menerangkan itu sendiri sebagai subjek.

Sebagai tambahan, Pasal 162 KUHAP menyatakan apabila saksi tidak bisa hadir di persidangan untuk memberikan keterangan karena alasan yang sah, maka keterangan saksi yang disumpah dalam berita acara penyidikan (BAP) “disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.” Artinya, walaupun BAP memiliki wujud fisik sebagai surat, akan tetapi dalam situasi tertentu Pasal 162 KUHAP mengakuinya sebagai alat bukti keterangan saksi. “Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin” serta “orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali” tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai keterangan saksi, akan tetapi Penjelasan Pasal 171 hanya mengakuinya sebagai “petunjuk”.

3. Kekuatan Pembuktian (Bewijskracht)

Barang bukti sama sekali bukan merupakan objek yang dapat menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Artinya, ia tidak memiliki kekuatan pembuktian. Secara teori, hakim bisa saja memutus seseorang bersalah tanpa adanya barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum, misalnya dalam perkara tipiring berupa delik penghinaan ringan. Syaratnya tentu saja selama telah terpenuhi bewijs minimmum berupa dua alat bukti yang menimbulkan keyakinan bagi hakim. Meskipun demikian, ius constituendum dalam Pasal 175 Rancangan KUHAP sepertinya memang menghendaki diakuinya barang bukti (physical evidence/real evidance) untuk menjadi bagian dari alat bukti seperti pada sistem common law.

Alat bukti merupakan seluruh objek yang diakui dalam Pasal 184 KUHAP untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Barang bukti bukanlah objek yang dapat menerangkan dengan sendirinya suatu kejadian tertentu, maka dari itu ia disebut sebagai corroborating evidence. Contoh: dalam suatu kasus pembunuhan ditemukan barang bukti berupa pisau yang masih menancap di perut korban. Dalam kasus tersebut, barang bukti pisau sama sekali tidak memiliki kekuatan pembuktian di hadapan hakim. Akan tetapi, ketika diteliti oleh ahli forensik dan dibuat surat pencocokan sidik jari atau diajukan keterangan ahli yang menjelaskan di persidangan bahwa ternyata sidik jari pada barang bukti pisau cocok dengan sidik jari terdakwa, maka secara tidak langsung barulah barang bukti tersebut dapat “menerangkan” terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Artinya, barang bukti perlu “ditransformasikan” terlebih dahulu menjadi alat bukti yang sah dalam UU agar dapat membuktikan seseorang bersalah melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, Pasal 181 KUHAP mengamanatkan kepada hakim untuk memperlihatkan terdakwa segala barang bukti dan menanyakan apakah ia mengenalinya.

4. Penyitaan

Agar dipertimbangkan oleh hakim, seluruh barang bukti yang diajukan penuntut umum di persidangan harus terlebih dahulu disita dan telah dilampirkan pula persetujuan atau izin sita dari ketua pengadilan negeri dalam berkas. Barang bukti yang diperoleh dengan misalnya penyadapan ilegal, penggeledahan yang tidak memiliki izin ketua pengadilan negeri dan tidak dihadiri saksi tentu saja menjadi tidak sah (perihal bewijsvoering) serta dapat menjadi objek dari praperadilan. Hal ini merupakan wujud dari perlindungan hak asasi manusia dan berhubungan pula dengan status barang bukti dalam amar putusan: apakah ia akan dikembalikan, dimusnahkan/dirusakkan, dirampas untuk negara atau masih diperlukan dalam perkara lain. Hakim tidak perlu mempertimbangkan barang bukti yang tidak memperoleh izin/persetujuan sita terlebih dahulu dari ketua pengadilan negeri.

Alat bukti yang diajukan dalam persidangan tidak memerlukan penyitaan terlebih dahulu. Oleh karena itu, amar putusan hakim tidak akan pernah menentukan status mengenai alat bukti.