Prinsip Satu Akta Hanya Dapat Memuat Satu Peristiwa Hukum

Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Pasal 1868 KUHPer mendefinisikan akta otentik sebagai akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, yaitu notaris. Salah satu bentuk akta otentik adalah grosse akta, yaitu salinan yang berisi pengakuan utang dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” sehingga ia memiliki kekuatan eksekutorial. Walaupun syarat formil grosse akta tidak secara eksplisit tercantum dalam Pasal 224 HIR/258 RBg, akan tetapi terdapat putusan Mahkamah Agung yang pernah menyatakan suatu akta pengakuan utang mengandung cacat hukum. Penyebabnya adalah karena dalam satu akta tersebut terdapat dua peristiwa hukum serta memuat pula kuasa mutlak.

Duduk perkara bermula ketika Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat I memiliki utang sejumlah 61 juta rupiah kepada Penggugat. Selain itu, Tergugat I juga telah memberi kuasa kepada Penggugat untuk menjual jaminan berupa sebidang tanah Hak Milik Nomor 407 seluas 350 m2 atas nama Tergugat II. Dalam surat jawabannya, Tergugat I membantah memiliki utang kepada Penggugat maupun pernah menghadap notaris untuk membuat akta pengakuan utang serta surat kuasa jual.

Majelis hakim tingkat pertama melalui putusan Nomor 08/Pdt.G/1994/PN.Slw menolak seluruh gugatan karena dari hasil pemeriksaan sidang, diperoleh fakta bahwa ternyata Tergugat I tidak memiliki utang kepada Penggugat, melainkan kepada bapak Penggugat. Di samping itu, Penggugat dan Tergugat I juga tidak pernah bersama-sama menghadap ke notaris untuk membuat akta pengakuan utang dan surat kuasa jual meskipun terdapat tanda tangan Tergugat I pada akta. Alasan selanjutnya adalah karena pada akta pengakuan utang terdapat kuasa mutlak untuk menjual tanah yang telah dilarang berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Lebih lanjut lagi, pada satu akta tersebut terdapat dua perbuatan hukum berupa: 1) akta pengakuan utang sebagai perjanjian pokok dan 2) surat kuasa mutlak untuk menjual tanah sebagai perjanjian accessoir. Dari seluruh pertimbangan tersebut, majelis hakim tingkat pertama menilai bahwa akta tersebut mengandung cacat hukum.

Pada tingkat banding, pengadilan tinggi melalui putusan Nomor 320/Pdt/1995/PT.Smg membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dengan alasan walau Tergugat I merasa tidak memiliki utang kepada Penggugat, akan tetapi Tergugat I tidak menolak menandatangani akta pengakuan utang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim tingkat banding mengabulkan gugatan untuk sebagian dan menghukum Para Tergugat untuk membayar utang kepada Penggugat sejumlah 61 juta rupiah.

Terhadap putusan pengadilan tinggi, Tergugat I mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 1440 K/Pdt/1996 tanggal 30 Juli 1986 memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 320/Pdt/1995/PT.Smg yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Tegal Nomor 08/Pdt.G/1994/PN.Slw dan mengadili sendiri dengan amar menolak seluruh gugatan Penggugat. Pertimbangan majelis hakim agung adalah sebagai berikut:

  1. Akta pengakuan utang dan kuasa untuk menjual yang memuat dua perbuatan hukum yaitu pengakuan utang dan kuasa untuk menjual tanah telah melanggar dalil (adagium) bahwa satu akta otentik atau akta di bawah tangan hanya berisi “satu” perbuatan hukum. Akta yang demikian itu tidak memiliki eksekutorial titel ex Pasal 224 HIR dan tidak sah;
  2. Kuasa mutlak yang tercantum dalam akta pengakuan utang dan kuasa untuk menjual bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 sehingga batal demi hukum;
  3. Tergugat I/Pemohon Kasasi membantah mempunyai utang kepada Penggugat/Termohon Kasasi I dan membantah datang bersama-sama untuk membuat akta pengakuan utang dan kuasa untuk menjual, sedangkan notaris yang bersangkutan berkeberatan (tidak menjadi pertanyaan hakim) mengenai kedatangan Tergugat I/Pemohon Kasasi, maka akta tersebut tidak mempunyai daya bukti formal;
  4. Karena Tergugat I/Pemohon Kasasi mengaku berutang kepada ayah Penggugat dan bukan kepada Penggugat, maka gugatan Penggugat tidak beralasan (ongegrond);

Dari putusan Mahkamah AgungNomor 1440 K/Pdt/1996, ada dua kaidah hukum yang dapat dipetik. Pertama, walaupun pada prinsipnya surat kuasa timbul dari asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUHPer, akan tetapi khusus dalam hal surat kuasa mutlak sebagai dasar untuk memindahkan hak atas tanah yang tidak dapat dicabut oleh pemberi kuasa, pelaksanaan tersebut telah dilarang melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982. Putusan Mahkamah AgungNomor 2584 K/Pdt/1986 pun menyatakan surat kuasa mutlak mengenai jual beli tanah tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan sebagai upaya penyelundupan. Oleh karena itu, surat kuasa mutlak yang demikian bertentangan dengan syarat “sebab yang tidak terlarang” sebagaimana tercantum dalam Pasal 1337 KUHPer sehingga berakibat batal demi hukum. Kedua, suatu akta juga tidak boleh memuat lebih dari satu peristiwa hukum. Dalam hal ini, suatu akta pengakuan utang yang memuat pula surat kuasa mutlak untuk menjual tanah mengakibatkan grosse akta mengandung cacat formil. Dalam Buku II Mahkamah Agung, dinyatakan bahwa salah satu syarat dari grosse akta adalah jumlahnya sudah pasti, bentuknya sangat sederhana, dan tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan lain.

Prinsip “satu akta satu peristiwa hukum” dapat dianalogikan dengan produk penetapan penahanan secara administratif yang dibuat oleh majelis hakim dalam perkara pidana. Misalnya dalam hal penggabungan perkara, satu penetapan penahanan pasti hanya berisi perintah untuk menahan satu terdakwa dan sengaja dibuat terpisah antara satu terdakwa dengan terdakwa lain. Dalam perkara perdata penetapan pengadilan yang bersifat yudisial, sudah menjadi praktik umum bahwa hakim akan menolak suatu permohonan voluntair yang menggabungkan beberapa peristiwa hukum sekaligus. Contohnya adalah petitum permohonan perbaikan nama untuk lebih dari satu subjek anak di bawah umur atau perbaikan nama pada lebih dari satu objek dokumen.