Konsekuensi Yuridis Pelimpahan Berkas dalam Acara Pemeriksaan Biasa

Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Setiap pemeriksaan perkara pidana dengan acara biasa selalu didahului pelimpahan berkas dan surat dakwaan dari penuntut umum. Tahapan ini disebut sebagai penuntutan, yaitu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Bersamaan dengan pelimpahan perkara, Pasal 143 ayat (4) RKUHAP menyatakan bahwa turunan atau salinan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan pula kepada tersangka atau penasihat hukumnya dan penyidik.

Sejak pengadilan negeri menerima pelimpahan perkara, secara simultan status subjek hukum yang pada proses penyidikan, prapenuntutan, dan penuntutan disebut sebagai “tersangka” kini berubah menjadi “terdakwa”. Perbedaan dari segi terminologis: tersangka adalah seseorang yang karena bukti permulaan yang cukup diduga keras melakukan tindak pidana, sedangkan terdakwa merupakan seseorang yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan. Secara praktis, kedua istilah tersebut merujuk pada tahap-tahap yang telah dilalui oleh suatu berkas perkara pidana.

Selain perubahan status dari “tersangka” menjadi “terdakwa”, wewenang untuk melakukan penahanan dari penuntut umum pun kini beralih kepada pengadilan negeri berdasarkan aturan Pasal 61 RKUHAP. Jika merujuk pada angka 21 huruf b Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dalam acara pemeriksaan biasa, masa berlaku penahanan dalam tingkat penuntutan langsung berakhir sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan. Yang menjadi pertanyaan, sejak kapankah suatu perkara dianggap selesai dilimpahkan ke pengadilan?

Jika ditinjau dari segi teknis administrasi pengadilan negeri, Yahya Harahap berpendapat bahwa pelimpahan berkas perkara ke pengadilan ialah “pada saat berkas perkara diterima dan diregister di kepaniteraan.” Setelah itu, barulah berkas diserahkan kepada ketua pengadilan negeri untuk menetap majelis hakim yang bertugas menyidangkan perkara tersebut.  Namun, saya tidak sepenuhnya sependapat dengan opini ini karena pada praktiknya, kejaksaan negeri akan menganggap perkara telah selesai dilimpah selama petugas di pengadilan negeri menyatakan berkas perkara lengkap dan ia telah menandatangani “tanda terima surat pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa (P-33)”. Sebagai informasi, checklist mengenai kelengkapan berkas perkara pidana di pengadilan negeri terdiri dari:

I. Kelengkapan Berkas Kejaksaan Negeri:

  1. tanda terima surat pelimpahan berkas perkara (P-33);
  2. tanda terima barang bukti (P-34);
  3. surat pelimpahan berkas perkara (P-31);
  4. surat dakwaan (P-29);
  5. surat perintah penunjukan penuntut umum (P-16A);
  6. surat perintah penahanan (tingkat penuntutan) (T-7);
  7. permohonan perpanjangan penahanan dari penuntut umum kepada ketua pengadilan negeri;
  8. berita acara penerimaan dan penelitian tersangka (BA-4);
  9. berita acara penelitian benda sitaan (BA-5);
  10. softcopy dakwaan dan daftar barang bukti;

II. Kelengkapan Berkas Penyidik:

  1. bundel berkas perkara;
  2. surat perintah penangkapan;
  3. surat perintah penahanan:
  4. penahanan penyidik;
  5. penyidik perpanjangan penahanan oleh penuntut umum;
  6. penyidik perpanjangan ketua pengadilan negeri I;
  7. penyidik perpanjangan ketua pengadilan negeri II;
  8. penetapan persetujuan/izin penyitaan;
  9. penetapan persetujuan/izin penggeledahan;
  10. laporan hasil assessment terpadu (untuk perkara yang didakwa dengan Pasal 103 dan/atau 127 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).

Saya memiliki argumentasi bahwa tanggal penandatanganan P-33 adalah patokan yang lebih pasti untuk menentukan sejak kapan perkara dilimpah. Ilustrasi: penuntut umum telah menyerahkan berkas perkara pada tanggal 17 Mei 2022 dan kepaniteraan pidana telah menyatakan seluruh dokumen lengkap. Dokumen P-33 pun telah ditandatangani oleh petugas pengadilan negeri di hari yang sama. Namun karena misalnya terjadi kelalaian, petugas kepaniteraan pidana baru meregister pelimpahan pada tanggal 20 Mei 2022. Apabila menggunakan patokan pelimpahan sejak tanggal petugas meregister berkas, maka pengadilan negeri dianggap baru menerima perkara pada tanggal 20 Mei 2022. Oleh karena itu, hakim pengadilan negeri juga baru mengeluarkan penetapan penahanan terdakwa pada tanggal yang terakhir disebut. Yang menjadi masalah adalah bagaimana jika tanggal 17 Mei 2022 adalah hari terakhir penahanan terdakwa? Artinya ada selisih waktu dua hari (tanggal 18 dan 19 Mei 2022) di mana terdakwa seharusnya dibebaskan karena berakhirnya masa penahanan sebelum ia akhirnya ditahan kembali pada tanggal 20 Mei 2022. Lalu siapa yang menanggung liabilitas terhadap dua hari penahanan tanpa dasar hukum tersebut? Penuntut umum jelas tidak mau bertanggungjawab karena mereka menganggap seluruh berkas perkara telah dilimpahkan pada tanggal 17 Mei 2022, sedangkan pengadilan negeri juga merasa tidak dapat dipersalahkan karena perkara baru diregister pada tanggal 20 Mei 2022. Polemik inilah yang tidak mampu dijawab apabila tanggal pelimpahan perkara berpatokan pada tanggal berkas diregister dan dalam ilustrasi sebelumnya akan berakibat pada saling lempar tanggung jawab antar instansi. Oleh karena itu saya berpendapat jika sejak awal tanggal pelimpahan perkara konsisten berpatokan pada tanggal penandatanganan P-33, maka tidak akan terjadi situasi absurd berupa status penahanan tanpa dasar hukum.

Patokan tanggal pelimpahan perkara pada tanggal penandatanganan P-33 dapat digunakan pula untuk menjawab permasalahan apabila lokasi kejaksaan negeri dan pengadilan negeri terpisah jarak yang jauh. Misalnya pada tanggal 17 Mei 2022, Kejaksaan Negeri Kepulauan Mentawai hendak melimpahkan berkas perkara pidana ke Pengadilan Negeri Padang. Masalahnya, penuntut umum Kabupaten Kepulauan Mentawai harus menempuh satu hari penuh untuk sampai di Kota Padang sehingga mengakibatkan petugas di Pengadilan Negeri Padang baru bisa menandatangani dokumen P-33 pada tanggal 18 Mei 2022. Dalam narasi ini, peralihan yuridis ke pengadilan negeri baru terjadi pada tanggal 18 Mei 2022 dan bukan pada tanggal pengiriman berkas perkara (17 Mei 2022).

Jika dibandingkan dengan acara pemeriksaan singkat dan tindak pidana ringan, maka prosedur pelimpahan pada kedua jenis acara pemeriksaan tersebut memang lebih sederhana. Alasannya sebagian besar dikarenakan pada acara pemeriksaan singkat dan tindak pidana ringan, surat dakwaan tidak dibuat secara khusus dan persidangan harus segera dilangsungkan pada hari yang sama dengan tanggal pelimpahan. Hal ini juga nantinya akan berimplikasi pada mekanisme pengembalian berkas, yaitu dalam acara pemeriksaan biasa, pengembalian berkas harus dinyatakan dalam suatu penetapan; sedangkan dalam acara pemeriksaan singkat dan tindak pidana ringan, pengembalian berkas terjadi secara bawah tangan selama belum dicatat dalam register perkara.

Terakhir, peralihan yuridis ke pengadilan negeri mengakibatkan pula beralihnya status barang bukti menjadi kewenangan pengadilan negeri. Namun oleh karena kebanyakan pengadilan negeri tidak memiliki tempat untuk menyimpan barang bukti, maka dalam praktiknya peralihan status barang bukti ini hanya terjadi secara administratif melalui “tanda terima penyerahan barang bukti (P-34)”, sedangkan fisik barang bukti tetap “dititipkan” di kantor kejaksaan negeri. Biasanya, di bagian bawah dokumen P-34 tercantum catatan yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut: “Berhubungan pengadilan negeri tidak memiliki gudang penyimpanan barang bukti, maka barang bukti dalam perkara ini dititipkan di kejaksaan negeri. Pada saat persidangan, penuntut umum apabila diperlukan menghadirkan barang bukti sesuai dengan daftar barang bukti tersebut di atas.” Dengan kata lain, klausa tersebut telah menyatakan bahwa penitipan barang bukti di kantor kejaksaan negeri sama sekali tidak boleh mereduksi hak dari penuntut umum untuk memperlihatkan barang bukti kepada terdakwa dan saksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 181 KUHAP.

Konklusi

Dari seluruh uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. peralihan yuridis berkas perkara pidana dari kejaksaan negeri ke pengadilan negeri terjadi setelah petugas di pengadilan negeri menandatangani “tanda terima surat pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa (P-33)”;
  2. peralihan yuridis mengakibatkan:
  3. status “tersangka” berubah menjadi “terdakwa”;
  4. status penahanan dari penuntut umum otomatis berakhir dan beralih menjadi kewenangan hakim pengadilan negeri;
  5. status barang bukti dari penuntut umum beralih menjadi kewenangan pengadilan negeri.
  6. karena setiap pelimpahan berkas pada acara pemeriksaan biasa selalu dicatat dalam register perkara, maka pengembalian berkas harus didahului dengan penetapan hakim dan tidak terjadi secara bawah tangan.