Perubahan Surat Dakwaan Jika Diversi Berhasil Terhadap Sebagian Anak dalam Penggabungan Perkara

Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dinyatakan bahwa syarat diversi adalah: 1) tindak pidana yang dilakukan Anak diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan 2) bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Jika Anak didakwa dengan tindak pidana yang diancam dengan penjara selama tujuh atau lebih, akan tetapi ia didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan penjara di bawah tujuh tahun dalam bentuk dakwaan subsideritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi, maka Pasal 3 Perma Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa “Hakim Anak wajib mengupayakan diversi”. Apabila diversi berhasil, maka kesepakatan antara para pihak tersebut lalu dituangkan dalam surat kesepakatan diversi.

Berdasarkan aturan pada Pasal 141 KUHAP, penuntut umum berwenang untuk penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan. Wewenang ini tentu berlaku juga dalam pemeriksaan terhadap perkara anak. Penuntut umum akan menggabungkan beberapa terdakwa atau beberapa tindak pidana jika terjadi kondisi berupa:

  • beberapa tindak pidana dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
  • beberapa tindak pidana bersangkut paut satu dengan yang lain; atau
  • beberapa tindak pidana ada hubungannya satu dengan yang lain dan penggabungan tersebut diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan.

Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan pihak Anak, korban, orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Bahkan jika diperlukan, musyawarah diversi dapat melibatkan tokoh masyarakat. Apabila penuntut umum menggabungkan dua atau lebih Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam satu surat dakwaan, maka diversi wajib mengikutsertakan seluruh Anak. Namun, yang menjadi masalah adalah apabila musyawarah diversi hanya menghasilkan kesepakatan terhadap sebagian Anak saja. Misalnya Anak A dan Anak B menganiaya Z sehingga mereka berdua didakwa dengan Pasal 170 ayat (1) KUHP (“melakukan kekerasan terhadap orang”). Pada saat musyawarah diversi, Anak A menyatakan bersedia memenuhi syarat kesepakatan diversi berupa ganti rugi membayar sebagian biaya pengobatan Z, akan tetapi Anak B menyatakan tidak sanggup membayar. Konsekuensinya, hakim harus menghentikan pemeriksaan terhadap Anak A, akan tetapi ia harus tetap melanjutkan pemeriksaan terhadap Anak B. Pertanyaannya, bagaimana prosedur penghentian perkara terhadap Anak A yang terlanjur didakwa dalam satu surat dakwaan dengan Anak B?

Jika dibandingkan, kesepakatan diversi terhadap sebagian Anak pada ilustrasi sebelumnya memiliki konsep yang mirip dengan kesepakatan perdamaian sebagian sebagaimana diatur dalam Pasal 29-31 Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam beleid tersebut dinyatakan apabila tercapai kesepakatan mediasi antara penggugat dan sebagian pihak tergugat, maka “penggugat mengubah gugatan dengan tidak lagi mengajukan pihak tergugat yang tidak mencapai kesepakatan sebagai pihak lawan.” Kembali kepada topik mengenai permasalahan dalam prosedur diversi, Pasal 6 Perma Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa apabila para pihak berhasil mencapai kesepakatan diversi, maka hakim wajib menerbitkan penetapan penghentian perkara setelah ia menerima penetapan kesepakatan diversi dari ketua pengadilan. Dalam penetapan ketua pengadilan tersebut, tercantum pula amar mengenai barang bukti. Namun sehubungan dengan skenario pada paragraf sebelumnya, akan timbul masalah terhadap status hukum Anak A dan Anak B yang telah terlanjur didakwa dalam satu surat dakwaan. Impak ini timbul karena secara administratif, penetapan penghentian perkara secara serta merta pasti berlaku terhadap seluruh Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang tercantum dalam berkas perkara dan surat dakwaan; walaupun secara yuridis, kesepakatan diversi hanya disetujui oleh Anak A. Konsekuensi selanjutnya adalah jika seandainya hakim menghentikan pemeriksaan terhadap Anak A, maka perkara Anak B yang digabung dengan Anak A dalam satu surat dakwaan juga harus dihentikan. Demikian pula sebaliknya, jika hakim melanjutkan pemeriksaan terhadap Anak B, maka perkara Anak A yang digabung dengan Anak B dalam satu surat dakwaan juga harus dilanjutkan ke tahap persidangan.

Terhadap dilema persoalan di atas, saya mengusulkan solusi pemecahan melalui mekanisme perubahan surat dakwaan. Sebagaimana kita tahu, Pasal 144 KUHAP memperbolehkan penuntut umum mengubah surat dakwaan dengan syarat perubahan tersebut hanya dapat diajukan satu kali pada tahap: 1) sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau 2) dalam waktu paling lama tujuh hari sebelum tanggal sidang dimulai berdasarkan penetapan hari sidang. KUHAP tidak mengatur mengenai sejauh mana materi surat dakwaan boleh diubah. Namun sebagai referensi, Pasal 282 HIR pada pokoknya menyatakan larangan jika perubahan tersebut menyebabkan isi tuduhan menjadi perbuatan lain. Misalnya seseorang mulanya didakwa dengan Pasal 351 KUHP (“penganiayaan”), tetapi kemudian diubah menjadi Pasal 338 KUHP (“pembunuhan”). Karena larangan perubahan surat dakwaan hanya terbatas pada perihal pasal dakwaan, maka secara a contrario perubahan surat dakwaan dapat melingkupi: 1) penyempurnaan identitas terdakwa; 2) penyempurnaan locus, tempus, uraian kejadian maupun unsur dakwaan; 3) perbaikan kesalahan penulisan (typographical error); 4) perubahan format bentuk dakwaan dari tunggal menjadi alternatif asal dalam rumpun tindak pidana yang sama, misalnya dakwaan tunggal delik pembunuhan ditambahkan alternatif pembunuhan berencana atau dakwaan tunggal delik penganiayaan ditambahkan alternatif penganiayaan berencana (Andi Hamzah, 2012:183); dan 5) melengkapi tanda tangan.

Setelah diversi dinyatakan berhasil, hakim dengan merujuk pada penetapan kesepakatan diversi dari ketua pengadilan kemudian menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara terhadap Anak A. Berdasarkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara tersebut, penuntut umum lalu mengajukan perubahan surat dakwaan sebelum hakim menetapkan hari sidang sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 144 KUHAP. Jika hakim terlanjur menetapkan hari sidang sebelum perubahan dakwaan diajukan, memang masih ada opsi lain, yaitu penuntut umum mengajukan perubahan paling lama tujuh hari sebelum tanggal sidang dimulai. Namun mengingat perkara Anak memiliki durasi penahanan yang sangat singkat, opsi ini jelas terlalu berisiko karena hakim bisa saja menetapkan hari sidang dalam jangka waktu kurang dari tujuh hari. Maka dari itu, koordinasi dan komunikasi antar aparat penegak hukum sangat diperlukan. Sudah tentu, substansi perubahan tersebut adalah mengenai revisi subjek hukum yang diajukan dalam surat dakwaan, yakni dari Anak A dan Anak B menjadi hanya Anak B semata. Dengan kata lain, Anak A dikeluarkan dari surat dakwaan karena ia menyetujui kesepakatan diversi.

Selain solusi di atas, saya memikirkan alternatif pemecahan masalah tentang kesepakatan diversi terhadap sebagian Anak melalui penghentian pemeriksaan sekaligus terhadap seluruh Anak dan Anak B. Nantinya, Anak B kemudian didakwa ulang dalam surat dakwaan yang berbeda. Namun, terdapat beberapa kelemahan dalam hipotesis ini. Pertama, Anak B harus dikeluarkan dari tahanan seketika setelah hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara sehingga menimbulkan risiko baru, yakni Anak B melarikan diri. Kedua, penetapan penghentian pemeriksaan pasti mengakibatkan konsekuensi berupa seluruh berkas pemeriksaan Anak A dan Anak B diminutasi dan diarsipkan oleh pengadilan negeri. Jika Anak B hendak dituntut ulang, maka otomatis penyidik harus mengulang seluruh pemberkasan perkara dari awal. Alternatif solusi ini akhirnya akan menimbulkan kesulitan yang lebih njelimet daripada sekedar mengubah surat dakwaan.

Problem lain yang dapat timbul sehubungan dengan perubahan surat dakwaan adalah mengenai relevansi pasal yang semula didakwakan. Misalnya dalam perkara Anak A dan Anak B yang didakwa dengan dakwaan tunggal Pasal 170 ayat (1) KUHP, apakah unsur “tenaga bersama” tetap terpenuhi jika seandainya Anak A dikeluarkan dari dakwaan? Artinya, pengertian unsur bersama “tenaga bersama” dalam pasal tersebut harus dimaknai dilakukan oleh pelaku secara jamak, sedangkan dalam persidangan, penuntut umum hanya menghadirkan satu orang Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Dalam kondisi ini, penuntut umum juga dilarang untuk mengajukan perubahan dakwaan dari Pasal 170 ayat (1) KUHP menjadi misalnya Pasal 351 ayat (1) KUHP (“penganiayaan”), karena keduanya merupakan pasal yang tidak serumpun. Karena pasal dakwaan tidak dapat diubah, maka implikasinya adalah jika hakim menganggap unsur “tenaga bersama” dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP tidak terpenuhi, otomatis Anak B harus dibebaskan. Dalam hal ini, dengan sendirinya telah melekat pula ne bis in idem.

Menurut saya, unsur “tenaga bersama” dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP sebenarnya masih dapat terpenuhi meskipun penuntut umum hanya mendakwa Anak B seorang diri. Syaratnya adalah selama telah terpenuhi bewijsminimum berupa dua alat bukti yang sah serta keyakinan hakim bahwa terdapat paling sedikit dua orang, yakni Anak A dan Anak B yang telah melakukan kekerasan terhadap Z. Dua alat bukti yang sah ini dapat diperoleh dari keterangan korban Z, Anak Saksi A yang pemeriksaan perkaranya dihentikan, serta Anak B sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Dalam pertimbangan, hakim juga perlu menguraikan mengenai status Anak A yang pemeriksaan perkaranya dihentikan berdasarkan kesepakatan diversi. Dengan segala kerendahan hati, semoga hal-hal yang saya kemukakan ini dapat menjadi masukan bagi Mahkamah Agung untuk menyempurnakan kebijakan mengenai diversi serta terakomodasi pula dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara.