Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.
Berdasarkan relasi antara pelaku dengan korban, doktrin membagi delik aduan menjadi dua jenis, yakni delik aduan absolut (mutlak) dan relatif (nisbi). Aduan absolut adalah delik yang mensyaratkan pengaduan dalam kondisi apa pun, salah satunya tercantum pada Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE). Hal ini dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 45 UU ITE bahwa “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan” yang merujuk pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sehubungan dengan aturan Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP yakni hakim pertama-tama mendengar keterangan saksi korban, putusan Pengadilan Negeri Serang dalam perkara Nikita Mirzani berikut ini dapat menjadi rujukan mengenai konsekuensi jika penuntut umum gagal menghadirkan saksi korban di persidangan.
Pada akhir tahun 2022 lalu, figur publik kontroversial Nikita Mirzani didakwa oleh Kejaksaan Negeri Serang karena mengunggah konten penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap mengenai Mahendra Dito melalui Instagram Stories. Atas perbuatan tersebut, penuntut umum lalu mendakwa Nikita Mirzani dengan tiga dakwaan berbentuk alternatif, kesatu: Pasal 36 jo. Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 51 Ayat (2) UU ITE; atau kedua: Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE; atau ketiga: Pasal 311 KUHP.
Setelah menjatuhkan putusan sela yang menolak seluruh keberatan penasihat hukum terhadap surat dakwaan, majelis hakim Pengadilan Negeri Serang lalu memerintahkan supaya penuntut umum terlebih dahulu menghadirkan saksi korban atas nama Mahendra Dito. Pertimbangan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP yang menyatakan: “Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi”. Namun setelah dipanggil tiga kali pada hari Senin tanggal 12 Desember 2022, hari Kamis tanggal 15 Desember 2022, dan hari Kamis tanggal 19 Desember, penuntut umum masih tidak mampu menghadirkan Mahendra Dito di persidangan. Karena itu, majelis hakim lalu menerbitkan Penetapan Nomor 853/Pid.Sus/2022/PN Srg tanggal 19 Desember 2022 yang memerintahkan agar penuntut umum menghadirkan saksi atas nama Mahendra Dito dengan bantuan alat negara, yakni aparat Kepolisian Republik Indonesia. Namun, hingga persidangan hari Kamis tanggal 29 Desember 2022, penuntut umum ternyata masih tidak mampu menghadirkan Mahendra Dito. Bahkan menurut laporan baik dari penuntut umum maupun Terdakwa Nikita Mirzani, “diketahui yang bersangkutan telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia.”
Terhadap kegagalan penuntut umum menghadirkan saksi korban, majelis hakim Pengadilan Negeri Serang pertama-tama mempertimbangkan bahwa Pasal 45 ayat (3) jo. Pasal 27 UU ITE yang digunakan untuk mendakwa Nikita Mirzani secara tidak langsung telah mengadopsi pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009. Kaidah norma dari kedua putusan tersebut pada pokoknya adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE “tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delicht yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut”. Dengan alasan tersebut, majelis hakim selanjutnya menilai kehadiran saksi korban dalam delik aduan “sangat dibutuhkan untuk mencari kebenaran materiil”. Namun karena Mahendra Dito sebagai saksi korban tidak hadir guna “kepentingan pemeriksaan perkara a quo yang merupakan delik aduan” tanpa alasan yang sah menurut ketentuan Pasal 162 ayat (1) KUHAP (meninggal dunia, terdapat halangan yang sah, jauh tempat kediaman/tempat tinggalnya, atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara), maka majelis hakim menolak jika keterangan Mahendra Dito pada Berita Acara Pemeriksaan Kepolisian untuk sekedar dibacakan. Apalagi, keterangan tersebut juga “tidak didukung dengan Berita Acara Penyumpahan Saksi di depan Penyidik”.
Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka majelis hakim lalu menilai “saksi korban Mahendra Dito pun terlihat tidak mempunyai itikad baik dan tidak bersungguh-sungguh dengan aduannya terhadap Terdakwa”. Selanjutnya, demi menghindari “tunggakan perkara disebabkan ketidakseriusan Penuntut Umum” serta “tidak ada jaminan lagi Penuntut Umum dapat menghadirkan saksi korban atas nama Mahendra Dito di persidangan”, majelis hakim beranggapan bahwa “cukup alasan hukum untuk menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak diterima”. Dalam putusan Nomor 853/Pid.Sus/2022/PN Srg tanggal 29 Desember 2022, Pengadilan Negeri Serang kemudian menjatuhkan amar yang menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, memerintahkan agar Nikita Mirzani segera dibebaskan, dan memerintahkan supaya berkas perkara dikembalikan kepada penuntut umum.
Upaya hukum banding penuntut umum
Pasca dibebaskannya Terdakwa Nikita Mirzani, Kejaksaan Negeri Serang lalu mendaftarkan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Banten dalam register Nomor 12/PID.SUS/2023/PT BTN. Namun, Pengadilan Tinggi Banten menilai keberatan penuntut umum tidak berdasarkan hukum dan oleh karenanya haruslah dikesampingkan. Pada amar yang dijatuhkan tanggal 16 Februari 2023 tersebut, Pengadilan Tinggi Banten akhirnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 853/Pid.Sus/2022/ PN Srg yang dimintakan banding. Karena penuntut umum tidak mengajukan kasasi, maka putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 12/PID.SUS/2023/PT BTN dengan sendirinya telah berkekuatan hukum tetap.
Kaidah hukum
Dari putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 853/Pid.Sus/2022/PN Srg yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Banten, terdapat beberapa kaidah hukum yang disimpulkan, yaitu:
- dalam delik aduan, ketidakhadiran saksi korban sekaligus pengadu tanpa disertai alasan yang sah mengakibatkan dakwaan tidak dapat diterima. Hal ini disebabkan karena Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP menyatakan bahwa hakim pertama-tama mendengar keterangan saksi korban;
- meskipun norma Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP tidak memuat sanksi jika dilanggar atau bersifat lex imperfecta, akan tetapi sebagai wujud judicial activism, hakim berwenang untuk menjatuhkan putusan bahwa tuntutan tidak dapat diterima secara ex officio (karena jabatan) jika terdapat ketentuan hukum acara yang dilanggar;
- sesuai dengan asas peradilan cepat (speedy trial) dan biaya ringan, putusan bahwa tuntutan tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya aturan hukum acara dapat dijatuhkan seketika tanpa perlu menunggu proses pembuktian berlanjut.