Triple Filter dalam Memeriksa Berkas Perkara Tindak Pidana Ringan (Tipiring)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Tipiring ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara/kurungan paling lama tiga bulan, denda sebanyak-banyaknya Rp7.500,00, serta penghinaan ringan. Namun, tipiring dikecualikan terhadap perkara pelanggaran tertentu dalam peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan, walaupun ancaman pidananya kurang dari tiga bulan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 205 KUHAP, perkara tipiring diperiksa dengan acara pemeriksaan tipiring.

Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP menyesuaikan jumlah denda pada Pasal 362, Pasal 372, Pasal 378, Pasal 383, Pasal 406, maupun Pasal 480 KUHP yang nilainya sudah tidak relevan dengan laju inflasi. Perma ini juga memberikan pedoman bagi hakim dalam menangani perkara tipiring. Berikut adalah triple filter atau tiga parameter yang perlu diuji oleh hakim setiap memeriksa berkas perkara tipiring:

1. Apakah nilai barang atau uang yang dialami oleh korban ≤ Rp2,5 juta?

Filter pertama dan yang paling mudah adalah memastikan bahwa nilai barang atau uang yang dialami oleh korban ≤ Rp2,5 juta sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) PERMA Nomor 2 Tahun 2012.

Apabila jawaban filter pertama adalah ya, maka lanjutkan ke filter kedua.

Apabila jawaban filter pertama adalah tidak, maka hakim mengembalikan berkas.

2. Apakah terdakwa didakwa dengan:

a. Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual), Pasal 407 (perusakan ringan), dan Pasal 482 (penadahan ringan) KUHP; 

b. pasal dengan ancaman pidana penjara/kurungan paling lama tiga bulan, denda sebanyak-banyaknya Rp7.500,00, atau penghinaan ringan (kecuali pelanggaran lalu lintas jalan); atau

c. delik yang di-juncto-kan dengan Pasal 65, Pasal 66, Pasal 70, atau Pasal 70 bis KUHP?

Filter pada poin 2a bertujuan untuk memastikan bahwa terdakwa didakwa dengan pasal yang secara limitatif disebutkan pada Pasal 1 Perma Nomor 2 Tahun 2012. Perlu ditekankan bahwa pasal tersebut tidak hanya mengubah frasa dua ratus lima puluh dibaca menjadi Rp2,5 juta, namun bagian penjelasan umum juga menyatakan: “…agar apabila terdapat perkara-perkara pencurian ringan maupun tindak pidana ringan lainnya tidak lagi mengajukan dakwaan dengan menggunakan pasal 362, 372, 378, 383, 406, maupun 480 KUHP namun pasal-pasal yang sesuai dengan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung ini.” Nah, frasa “pasal-pasal yang sesuai dengan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung ini” harus dimaknai terbatas hanya berlaku untuk Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), 384 (penipuan ringan oleh penjual), 407 (perusakan ringan), dan 482 KUHP (penadahan ringan).

Filter pada poin 2b adalah parameter mengenai jenis perkara yang diperiksa dengan acara pemeriksaan tipiring sesuai ketentuan Pasal 205 KUHAP. Alasannya karena perkara yang memenuhi parameter tipiring tidak hanya terbatas terhadap yang disebutkan secara restriktif dalam Pasal 1 Perma Nomor 2 Tahun 2012. Hakim perlu memperhatikan segi ancaman batas atas pidana penjara/kurungan selama tiga bulan, ancaman batas atas nilai denda sejumlah Rp7.500,00, beserta penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP), walaupun ancaman pidananya lebih dari tiga bulan.

Tujuan penyebutan secara limitatif pasal-pasal tertentu dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012 adalah untuk menyederhanakan pasal-pasal yang dalam praktik di lapangan sering didakwadengan tindak pidana biasa. Namun selama memenuhi parameter yang ditentukan di Pasal 205 KUHAP, pasal-pasal yang tidak disebut dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012 tetap dapat diajukan dengan acara pemeriksaan tipiring. Contoh: Pasal 302 KUHP tentang penganiayaan hewan terhadap hewan (ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah), Pasal 472 bis KUHP tentang penumpang gelap dalam kapal (ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan), Pasal 531 KUHP tentang pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan (ancaman pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah), dll.

Filter pada poin 2c bertujuan untuk memastikan dakwaan tidak melebihi maksimal ancaman pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan. Hal ini disebabkan Pasal 65, Pasal 66, Pasal 70, atau Pasal 70 bis KUHP mengatur mengenai pemberatan pidana jika terjadi perbarengan perbuatan (meerdaadsche samenloop)/concursus realis.

i. Nilai Kerugian ≤ Rp2.500.000,00 namun Terdakwa Didakwa Bukan dengan Pasal Tipiring

Contoh: Terdakwa didakwa dengan Pasal 363 angka 1 (pencurian dalam keadaan memberatkan) dengan nilai kerugian yang dialami korban sejumlah Rp1.000.000,00. Karena hakim hanya melihat nilai kerugian telah memenuhi parameter filter pertama ≤ Rp2,5 juta, maka hakim menyidangkan perkara tersebut dengan acara pemeriksaan tipiring.

Dalam contoh tersebut, telah terjadi kesalahan beracara karena pemeriksaan tipiring hanya dapat diterapkan untuk perkara dengan ancaman dengan pidana penjara/kurungan paling lama tiga bulan. Di sisi lain, Pasal 363 angka 1 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Lalu, sikap yang dilakukan hakim apabila penyidik melimpahkan perkara tipiring yang tidak memenuhi filter kedua? Pasal 209 KUHAP menyatakan bahwa panitera baru mencatat perkara di register setelah hakim mengucapkan putusan. Dari pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa belum terjadi peralihan yuridis dari penyidik ke pengadilan hingga putusan selesai dibacakan. Maka dari itu, pengadilan cukup mengembalikan berkas tersebut secara bawah tangan tanpa mengeluarkan penetapan atau produk apa pun.

ii. Dakwaan Tipiring yang Dilimpahkan Melalui Acara Pemeriksaan Biasa

Bagaimana apabila terjadi situasi a contrario ketika suatu perkara memenuhi parameter tipiring, akan tetapi penuntut umum mengajukan perkara tersebut melalui acara pemeriksaan biasa? Pada prinsipnya, hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengoreksi dakwaan karena asas dominis litis (penuntut umum sebagai pemilik perkara) maupun menyatakan diri untuk menolak suatu perkara. Satu-satunya sikap hakim adalah tetap memeriksa perkara tersebut dan menyidangkannya dengan acara biasa karena tidak ada larangan untuk memeriksa perkara yang derajat kualitas pemeriksaannya lebih rendah (acara pemeriksaan tipiring) menjadi lebih tinggi (acara pemeriksaan biasa). Merujuk pendapat M. Yahya Harahap, hal tersebut diperbolehkan karena terdakwa justru mendapatkan keuntungan berupa tambahan waktu dan hak untuk membela diri, walaupun hal ini bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Penjelasan Umum Perma Nomor 2 Tahun 2012. Yang dilarang adalah memeriksa perkara yang derajat kualitas pemeriksaannya lebih tinggi (acara pemeriksaan biasa) menjadi lebih rendah (acara pemeriksaan tipiring). Praktik ini tidak diperbolehkan karena jelas akan merugikan terdakwa dalam mempersiapkan pembelaan dirinya.

Apabila jawaban filter kedua adalah ya, maka lanjutkan ke filter ketiga.

Apabila jawaban filter kedua adalah tidak, maka hakim mengembalikan berkas.

3. Apakah terdakwa tidak pernah melakukan tindak pidana berulang dalam kurun waktu tiga tahun sejak selesai menjalani putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap?

Pasal 4 ayat (4) jo. Pasal 5 ayat (4) Nota Kesepakatan Bersama Mahkumjakpol Tahun 2012 menentukan supaya pelaku tindak pidana berulang tidak dapat diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat maupun diselesaikan dengan keadilan restoratif, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud “sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan” merujuk pada Pasal 6 ayat (2) huruf c Perma Nomor 1 Tahun 2024. Beleid ini menyatakan hakim tidak berwenang menerapkan keadilan restoratif jika terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu tiga tahun. Jangka waktu ini dihitung sejak terdakwa selesai menjalani putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Merujuk ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa jika terdakwa melakukan tindak pidana sejenis yang belum melewati jangka waktu tiga tahun sejak selesai menjalani hukuman, maka ia tidak dapat diperiksa melalui acara pemeriksaan tipiring. Artinya, pelaku tindak pidana berulang yang melakukan tipiring harus diperiksa melalui acara pemeriksaan biasa.

Contoh: A melakukan penganiayaan ringan pada tanggal 1 Januari 2025, padahal ia baru selesai menjalani hukuman karena kejahatan yang sama pada tanggal 1 Desember 2024. Karena jangka waktu terdakwa selesai menjalani pidana belum lewat tiga tahun, maka perkara terdakwa tidak dapat dilimpahkan melalui acara pemeriksaan tipiring.

Apabila jawaban filter kedua adalah ya, maka hakim melanjutkan ke tahap persidangan.

Apabila jawaban filter kedua adalah tidak, maka hakim mengembalikan berkas.

Kesimpulan:

  1. Ada tiga filter yang perlu diuji oleh hakim dalam memeriksa berkas perkara tipiring yaitu: 1) nilai kerugian; 2) jenis dakwaan; dan 3) riwayat kejahatan;
  2. Filter kesatu dan kedua merupakan syarat objektif karena berhubungan dengan hukum acara, sedangkan filter ketiga merupakan syarat subjektif karena berhubungan dengan subjek perkara (riwayat kejahatan terdakwa);
  3. Hakim perlu mempertimbangkan masa penahanan terdakwa jika penyidik terlanjur menahan terdakwa.