Delik Perzinaan di Persimpangan Norma Agama dan Hukum Negara

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Pada Senin tanggal 9 Oktober 2023, seorang oknum dosen UIN Raden Intan Lampung yang telah beristri terpergok oleh warga tengah berduaan dengan mahasiswinya. Dilansir dari keterangan Humas Polda Lampung, mereka mengaku telah berhubungan badan hingga enam kali. Pada akhirnya, pihak rektorat memutuskan agar sang dosen dipecat, sedangkan mahasiswi dijatuhi sanksi drop out.

Walaupun sempat diamankan di Polda Lampung, akan tetapi keduanya dilepas pada Rabu tanggal 11 Oktober 2023. Alasannya, polisi menyatakan tidak dapat melanjutkan proses penyidikan disebabkan pihak yang berhak tak membuat laporan. Buntutnya, dalam beberapa hari terakhir bermunculan opini warganet yang pada intinya mengkritisi alasan dilepasnya para pelaku.

Sebagai negara dengan mayoritas pemeluk agama Islam, perzinaan memiliki definisi yang berbeda dalam perspektif hukum Islam dan hukum negara. Di hukum Islam, secara umum perzinaan didefinisikan sebagai persenggamaan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya, tanpa memandang apakah masing-masing pelaku terikat pernikahan atau tidak. Definisi tersebut menjadi perbedaan pertama jika dibandingkan dengan rumusan Pasal 284 ayat (1) KUHP yang menentukan delik zina (overspel) hanya berlaku bagi laki-laki dan/atau wanita yang telah menikah. Dengan kata lain, pelaku zina suka sama suka yang keduanya tak terikat pernikahan sama sekali tidak dapat dihukum pidana.

Perbedaan kedua, QS An-Nur ayat 4 mensyaratkan empat orang saksi apabila seseorang hendak menuduh terjadinya perzinaan. Aturan ini dapat dipahami karena ganjaran zina sangatlah berat, yakni meliputi hukuman cambuk, pengasingan, bahkan hingga rajam. Maka dari itu, hukum Islam mensyaratkan standar pembuktian yang tinggi demi mencegah fitnah palsu. Bandingkan dengan ketentuan hukum negara pada Pasal 284 ayat (1) KUHP yang mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Standar pembuktian yang ditentukan pun serupa dengan tindak pidana lain, yakni dua alat bukti yang sah dan menimbulkan keyakinan bagi hakim.

Perbedaan ketiga sekaligus yang paling sering keliru dimengerti, Pasal 284 ayat (2) KUHP mensyaratkan adanya pengaduan dari pasangan sah pelaku zina. Artinya apabila tidak ada pengaduan dari suami atau istri pelaku, maka polisi tak berwenang untuk melanjutkan penyidikan. Dalam doktrin, jenis tindak pidana yang mutlak mensyaratkan aduan seperti ini dikenal sebagai delik aduan absolut (Utrecht, 1986:260).

Teori mengenai aduan absolut pada hukum pidana konvensional di atas sama sekali tidak dikenal dalam hukum Islam. Artinya, perzinaan merupakan delik umum yang dapat diadukan oleh siapa pun selain pasangan sah pelaku. Padahal jika diterapkan dalam sistem hukum negara, praktik ini justru akan mengakibatkan pelanggaran hukum acara. Sebagai contoh, Pengadilan Negeri Cibinong melalui putusan Nomor 09/Pid.B/2017/PN.Cbn menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima karena pada berkas perkara tidak ditemukan pengaduan dari korban, melainkan hanya terdapat laporan polisi dan surat kuasa (M. Irsan Arief, 2021:240).

Dalam pemahaman masyarakat awam, perzinaan merupakan kasus yang sangat menarik atensi sekaligus menimbulkan kompleksitas yuridis. Disebabkan perbedaan perspektif mengenai definisi dan persyaratan pengaduan, akan sangat mudah bagi publik untuk keliru menilai pengambilan kebijakan dalam penanganan perkara zina. Maka dari itu, literasi dan pemahaman secara komprehensif sangat diperlukan untuk menghindari opini misleading yang tidak disertai dengan kecukupan landasan normatif.

Pernah dimuat di Kaltim Post tanggal 18 Oktober 2023