Saksi Keluarga dalam Perkara Perceraian

Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

I. Apakah Saksi Keluarga Dapat Diajukan dalam Perkara Perceraian?

Ketentuan mengenai saksi keluarga diatur dalam Pasal 145 ayat (1) HIR yang menyatakan: “Yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah:
1. keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus;
2. istri atau suami dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;
3. anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia 15 (lima belas) tahun;
4. orang gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang.”

Selanjutnya, Pasal 172 RBg: “Tidak boleh didengar sebagai saksi adalah mereka:
1. yang mempunyai hubungan kekeluargaan dalam garis lurus karena sedarah atau karena perkawinan dengan salah satu pihak;
2. saudara-saudara lelaki atau perempuan dari ibu dan anak-anak dari saudara perempuan di daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli sepanjang hukum waris di sana mengikuti ketentuan-ketentuan Melayu;
3. suami atau istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai;
4. anak-anak yang belum dapat dipastikan sudah berumur lima belas tahun;
5. orang gila, meskipun ia kadang-kadang dapat menggunakan pikirannya dengan baik.”

Pada umumnya, saksi keluarga sesuai yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 145 ayat (1) HIR/Pasal 172 ayat (1) RBg tidak dapat diajukan sebagai saksi dalam persidangan. Alasannya, akan sulit bagi mereka untuk memberikan keterangan yang benar-benar objektif disebabkan hubungan kekerabatan antara saksi dengan pihak yang berperkara. Namun, Pasal 145 ayat (2) HIR/Pasal 172 ayat (2) RBg menyatakan bahwa dalam hal mengenai keadaan menurut hukum perdata, keluarga sedarah dan semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi. Yang dimaksud tentang keadaan menurut hukum perdata antara lain adalah hubungan perselisihan tentang perkawinan, keturunan, dan perceraian. Ratio legis dari diperbolehkannya saksi keluarga memberikan keterangan adalah karena rumah tangga adalah urusan yang sangat privat. Maka dari itu, orang yang benar-benar mengetahui keadaan rumah tangga biasanya adalah para pihak dan keluarga para pihak yang berperkara itu sendiri.

Dari konstruksi berpikir seperti di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa para pihak yang berperkara seharusnya dapat mengajukan keluarga sebagai saksi. Jenis saksi ini dapat diajukan terlepas dari alasan perceraian apa pun sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini disebabkan karena hanya saksi keluargalah yang benar-benar mengetahui kondisi dan peristiwa yang terjadi di dalam rumah tangga para pihak. Frasa “dapat” menunjukkan bahwa pengajuan saksi keluarga dalam perkara perceraian pada umumnya bukan merupakan suatu kewajiban.

Muhamad Rizki, S.H., Hakim dari Pengadilan Agama memberikan pendapat berikut: “… Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur tentang lex spesialis keterangan keluarga hanya pada alasan perceraian Pasal 19 huruf f yaitu pertengkaran terus menerus (syiqaq). Maka berdasarkan hal tersebut, lex spesialis hanya berlaku pada pasal tersebut yaitu kebolehan mendengar keterangan saksi keluarga diperbolehkan pada alasan perceraian Pasal 19 huruf f, tidak untuk alasan yang lain. Kalau alasan perceraian diajukan selain alasan Pasal 19 huruf f, maka saksi-saksi harus berdasarkan HIR dan RBG, kembali kepada aturan yang umum (lex generalis).” Saya tidak sepakat dengan argumentasi di atas, karena:
1. Asas lex specialis derogat legi generali hanya berlaku terhadap peraturan-peraturan yang tingkatannya sederajat. HIR/RBg memiliki kedudukan yang setara dengan undang-undang sehingga tidak bisa dibandingkan dengan PP Nomor 9 Tahun 1975 yang hanya berkedudukan sebagai peraturan pemerintah;
2. Aturan dalam Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975 sama sekali tidak mengeliminasi hak dari para pihak untuk mengajukan saksi keluarga dalam perceraian sebagaimana ketentuan yang lebih tinggi pada Pasal 145 ayat (2) HIR/Pasal 172 ayat (2) RBg. Sifat dari Pasal 22 adalah “memaksa” pihak untuk menghadirkan keluarga sebagai saksi apabila perceraian didasarkan pada ketentuan Pasal 19 huruf f. Artinya, tidak ada larangan bagi pihak yang berperkara untuk mengajukan saksi keluarga terhadap alasan lain yang tercantum dalam Pasal 19.

II. Kekhususan dalam Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975
Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975 menyatakan: “Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.” Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan “gugatan tersebut dalam ayat (1)” adalah gugatan perceraian dengan alasan sebagaimana dalam Pasal 19 huruf f, yaitu antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun. Selanjutnya, karena Pasal 22 mengandung frasa “setelah mendengar pihak keluarga …”, maka ditafsirkan pihak yang berperkara harus menghadirkan keluarga sebagai saksi untuk didengarkan keterangannya oleh hakim. Alasan cerai dalam Pasal 19 huruf f memiliki suatu kekhususan apabila dibandingkan dengan alasan cerai lain dalam Pasal 19, karena terdapat kewajiban untuk menghadirkan keluarga sebagai saksi.

III. Apakah Saksi Keluarga dalam Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975 Dapat Disumpah?
Kekhususan Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975 tampaknya sangat penting, sampai-sampai terdapat tiga perkembangan kaidah mengenai sumpah saksi keluarga dalam Rumusan Hukum Kamar Perdata Mahkamah Agung RI. Ketiga kaidah hukum tersebut adalah sebagai berikut:

Rumusan Hukum Kamar Perdata Tahun 2012
“Putusan Judex Facti pada masalah nomor 3, berkenaan dengan gugatan perceraian dengan alasan cekcok terus-menerus dan tidak dapat didamaikan lagi (Pasal 19 F PP No. 9 tahun 1975), Hakim wajib mendengar keterangan orang terdekat dan keluarga terdekat kedua belah pihak (Pasal 22 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975), bukan disumpah sebagai saksi sehingga putusan Judex Facti tersebut salah menerapkan hukum.”

Rumusan Hukum Kamar Perdata Tahun 2014
“Dalam pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan cekcok terus menerus dan tidak dapat dirukunkan kembali, keluarga terdekat didengar keterangannya (vide Pasal 22 ayat 2 PP Nomor 9 Tahun 1975) dan dapat pula sebagai saksi di bawah sumpah (vide Pasal 145, 146 dan 147 HIR/172, 174, 175 Rbg). Rumusan ini merupakan penyempurnaan Hasil Rapat Kamar Perdata, tanggal 14 – 16 Maret 2011 di Hotel Aryaduta Tangerang, Sub Kamar Perdata Nomor XVI.”

Rumusan Hukum Kamar Perdata Tahun 2015
“Khusus perkara perceraian berlaku ketentuan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal keluarga dijadikan saksi dapat disumpah sepanjang tidak ada bukti lain.”

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi beberapa perubahan kaidah hukum terkait sumpah saksi keluarga pada Rumusan Hukum Kamar Perdata Mahkamah Agung Tahun 2012, Tahun 2014, dan Tahun 2015. Dalam Rumusan Hukum Kamar Perdata Tahun 2012, dinyatakan bahwa saksi keluarga tidak disumpah. Jika dilanggar, maka hal ini akan mengakibatkan konsekuensi berupa kesalahan dalam penerapan hukum. Kaidah tersebut lalu dikoreksi oleh Rumusan Hukum Kamar Perdata Tahun 2014 yang menyatakan saksi keluarga dalam Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975 “dapat pula sebagai saksi di bawah sumpah”. Oleh karenanya, hakim diberikan kebebasan untuk menyumpah atau tidak menyumpah saksi keluarga. Selanjutnya, Rumusan Hukum Kamar Perdata Tahun 2015 memperbarui kaidah hukum dengan menyatakan saksi pada Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975 “dapat disumpah sepanjang tidak ada bukti lain”. Dalam ketentuan yang paling mutakhir ini, hakim hanya dapat menyumpah saksi sepanjang tidak ada bukti lain yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Nah, “alat bukti” yang dimaksud tentunya bukan sembarang alat bukti, namun harus berupa alat bukti yang benar-benar memiliki relevansi dengan alasan Pasal 19 huruf f, yaitu telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak ada harapan akan hidup rukun lagi.

IV. Kesimpulan:
1. Saksi keluarga boleh didengarkan keterangannya, terlepas dari alasan perceraian apa pun yang tercantum pada Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975;
2. Tidak wajib mengajukan saksi keluarga dalam perkara perceraian. Saksi keluarga hanya wajib dihadirkan terhadap alasan perceraian yang didasarkan pada Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu terjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak ada harapan akan hidup rukun lagi;
3. Saksi keluarga didengar keterangannya di bawah sumpah untuk seluruh alasan perceraian dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 sepanjang tidak ada bukti lain yang relevan dengan alasan perceraian.