Konsekuensi Ketidakhadiran Prinsipal Individu dalam Gugatan Sederhana

Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Penyelesaian gugatan sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp500 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana. Diatur dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (selanjutnya disebut Perma tentang Gugatan Sederhana), pembentukan aturan ini bertujuan untuk menyederhanakan prosedur hukum acara gugatan sehingga diharapkan akan mampu meningkatkan ease of doing business index Indonesia di mata dunia.

Sebagai wujud kekhususan, terdapat beberapa ketentuan dalam hukum acara gugatan sederhana yang berbeda jila dibandingkan dengan hukum acara gugatan konvensional. Contohnya adalah mengenai batas waktu penyelesaian perkara paling lama selama 25 hari kerja; upaya perdamaian yang mengecualikan mekanisme mediasi; upaya hukum hanyalah berupa keberatan; tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan; dll. Selain ketentuan-ketentuan tersebut, salah satu kekhususan pada gugatan sederhana adalah mengenai kehadiran para pihak sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (4) Perma tentang Gugatan Sederhana sebagai berikut: “Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa, kuasa insidentil atau wakil dengan surat tugas dari institusi penggugat.”

Jika kembali pada ketentuan umum, Pasal 123 ayat (1) HIR/147 ayat (1) RBg memberikan hak bagi penggugat atau tergugat untuk dibantu atau diwakili oleh kuasa hukum yang ditunjuk melalui surat kuasa khusus, kecuali jika pemberi kuasa (prinsipal) sendiri hadir di persidangan. Maka dari itu, prinsipal pada acara gugatan konvensional boleh saja mengutus kuasa hukumnya untuk mewakili tanpa sang prinsipal perlu hadir di persidangan. Namun sesuai aturan Pasal 4 ayat (4) Perma tentang Gugatan Sederhana, hukum acara gugatan sederhana secara khusus mewajibkan prinsipal individu untuk tetap wajib hadir di persidangan dengan atau tanpa kuasa hukumnya. Masalahnya, Perma tentang Gugatan Sederhana tidak menjelaskan mengenai konsekuensi terhadap prinsipal individu yang hanya mengutus kuasa hukumnya untuk hadir di persidangan. Ketentuan yang tidak menyertakan implikasi jika tidak dipenuhi ini selanjutnya disebut pula dengan istilah lex imperfecta.

Kekosongan hukum (rechtsvacuum) mengenai ketidakhadiran prinsipal individu ini kemudian memunculkan dua disparitas solusi. Pendapat pertama menyatakan oleh karena Perma tentang Gugatan Sederhana tidak mengatur mengenai konsekuensi ketidakhadiran prinsipal individu, maka hakim kembali pada ketentuan hukum Pasal 123 ayat (1) HIR/147 ayat (1) RBg. Artinya, prinsipal individu yang hanya mengutus kuasa hukumnya tetap dianggap hadir untuk mewakili di persidangan. Namun, hakim tetap memberi peringatan kepada kuasa hukum dan memerintahkan agar hal tersebut dicatat dalam berita acara sidang. Pendapat kedua, karena redaksi Pasal 4 ayat (4) Perma tentang Gugatan Sederhana telah menyatakan dengan tegas bahwa prinsipal individu wajib hadir dengan atau tanpa penasihat hukum, maka prinsipal individu yang hanya mengutus kuasa hukumnya di persidangan dianggap tidak hadir. Apabila prinsipal individu yang hanya mengutus kuasa hukum tersebut adalah penggugat, maka hakim menyatakan gugatan gugur. Jika prinsipal individu tersebut adalah tergugat, hakim menunda sidang supaya tergugat dipanggil untuk kedua kali secara patut.

Mengenai alternatif solusi terhadap prinsipal individu yang hanya mengutus kuasa hukumnya, saya lebih sependapat dengan pendapat kedua yang pada pokoknya berpendapat bahwa hakim tetap menganggap si prinsipal tidak hadir. Alasan pertama berangkat dari penafsiran sistematis pada Pasal 6 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya disebut Perma tentang Mediasi) yang sama-sama mewajibkan para pihak untuk wajib menghadiri mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukumnya. Namun berbeda dengan Perma tentang Gugatan Sederhana, Pasal 18 ayat (3) Perma tentang Mediasi mengatur tentang klausul pengecualian yang memperbolehkan kuasa hukum untuk mewakili para pihak melaksanakan mediasi jika terdapat alasan yang sah. Jika ditafsirkan secara a contrario terhadap konteks Perma tentang Gugatan Sederhana yang tidak memiliki klausul pengecualian, maka prinsipal individu yang hanya diwakili oleh kuasa hukumnya harus dianggap tidak hadir. Hal ini selanjutnya berhubungan dengan alasan kedua, yaitu maksim yang berbunyi lex dura sed tamen scripta. Hukum itu keras, tapi itulah yang tertulis. Melalui adagium tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan hukum harus ditafsirkan sempit apa adanya demi menghindari multitafsir.

Alasan ketiga yang lebih bersifat filosofis adalah berhubungan dengan mekanisme upaya perdamaian dalam gugatan sederhana yang menyimpangi ketentuan dalam Perma tentang Mediasi. Sebagaimana aturan dalam Pasal 15 ayat (1) Perma tentang Gugatan Sederhana, hakim wajib mengupayakan perdamaian antara para pihak dengan memperhatikan batas waktu penyelesaian perkara. Demi mewujudkan upaya perdamaian tersebut, Perma tentang Gugatan Sederhana kemudian mewajibkan agar para prinsipal individu untuk hadir di persidangan dengan atau tanpa penasihat hukumnya. Asumsi di balik aturan ini adalah karena hanya prinsipal individu sendiri yang paling mengetahui kemampuan bayar maupun keadaan finansial dirinya. Sebagai contoh misalnya hakim dapat bertanya langsung kepada tergugat, “Apa penyebab Tergugat tidak bisa membayar angsuran?”, “Kira-kira kapan seluruh tunggakan bisa dibayar?”, atau “Berapa kemampuan Tergugat untuk membayar tunggakan?” Kepada penggugat, hakim dapat bertanya, “Apakah bunga atau denda masih bisa dikurangi sesuai dengan kemampuan Tergugat?” atau “Apakah tergugat masih bisa diberi perpanjangan jangka waktu?” Pertanyaan-pertanyaan yang sangat manusiawi tersebut rasanya mustahil akan dapat ditanyakan apabila para prinsipal individu tidak hadir langsung ke persidangan. Alasan terakhir, dikhawatirkan akan muncul suatu preseden toh tidak ada konsekuensi apa pun jika hanya kuasa hukum yang datang mewakili prinsipal individu. Dengan demikian, kuasa hukum akan dapat dengan seenaknya menghadiri sidang gugatan sederhana tanpa kehadiran prinsipal secara langsung.

Pengecualian

Meskipun bertujuan untuk mewujudkan asas peradilan cepat, akan tetapi kewajiban prinsipal individu untuk hadir dengan atau tanpa penasihat hukum pun tidak lepas dari risiko. Hal ini dapat timbul karena penggugat memiliki hak untuk mengajukan gugatan sederhana kapan pun ia berkehendak. Misalnya dengan tujuan menyulitkan tergugat untuk hadir di persidangan, penggugat dengan sengaja menggugat pada saat diketahui tergugat tengah sakit, menjalankan tugas negara, atau tengah berada di luar kota. Namun, kondisi ini tidak mungkin berlaku sebaliknya, karena penggugat pasti hanya akan mengajukan gugatan jika kondisi dan alat buktinya telah siap. Apabila hakim memaknai ketentuan Pasal 4 ayat (4) Perma tentang Gugatan Sederhana secara letterlijk, maka tergugat dianggap tidak hadir walaupun ia misalnya telah mengutus kuasa hukum. Akibatnya, perkara tersebut lalu diputus secara verstek. Ilustrasi ini menunjukkan bagaimana penggugat dapat mengeksploitasi celah yang terkandung dalam ketentuan Pasal 4 ayat (4) Perma tentang Gugatan Sederhana demi kepentingan dirinya sendiri.

Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak boleh mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Maka dari itu, dalam menerapkan aturan Pasal 4 ayat (4) Perma tentang Gugatan Sederhana, hakim perlu memastikan bahwa penggugat dan tergugat berada dalam kedudukan yang setara untuk mengajukan jawaban dan alat bukti. Dalam hal tergugat memang tidak dapat hadir ke persidangan karena alasan yang sah dan dapat diverifikasi, maka berdasarkan perluasan dari ketentuan Pasal 24 ayat (3) Perma Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, hakim boleh saja melangsungkan pemeriksaan secara jarak jauh melalui media komunikasi audiovisual. Dengan kata lain, tergugat prinsipal dapat menghadiri persidangan secara elektronik dengan tetap didampingi penasihat hukum yang hadir secara langsung di persidangan. Cara ini menurut saya merupakan jalan tengah terbaik untuk menjawab mengenai solusi mengenai bagaimana jika tergugat prinsipal tidak dapat menghadiri sidang gugatan sederhana secara langsung karena alasan yang sah.