Prosedur Musyawarah Diversi Tanpa Korban

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Umumnya, diversi dihadiri oleh pihak yang menjadi korban tindak pidana. Apabila menyetujui solusi yang diusulkan pada proses diversi, Anak dan korban selanjutnya membuat kesepakatan diversi. Hasil dari kesepakatan diversi itulah yang kemudian menjadi dasar penghentian pemeriksaan perkara di pengadilan negeri.

Selain diversi yang wajib dihadiri dan disetujui korban, ada pula diversi yang sama sekali tidak membutuhkan persetujuan korban maupun pihak lain. Kondisi ini diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA dalam hal:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran. Contohnya adalah membuat kegaduhan pada Pasal 503 KUHP.
b. tindak pidana ringan. Contohnya adalah pencurian dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta.
c. tindak pidana tanpa korban. Contohnya adalah perjudian dan mengonsumsi obat keras atau narkotika.
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

Terhadap tindak pidana yang memenuhi kriteria pasal di atas, hakim harus tetap menyelenggarakan musyawarah diversi. Pihak korban boleh saja dipanggil untuk mendengar pendapatnya, akan tetapi ia tidak memiliki suara untuk menentukan keberhasilan musyawarah diversi. Pihak-pihak yang perlu dipanggil adalah:
a. Anak dan orang tua/wali atau pendampingnya;
b. korban dan/atau orang tua/walinya (jika ada);
c. pembimbing kemasyarakatan;
d. pekerja sosial profesional;
e. perwakilan masyarakat; dan
f. pihak-pihak terkait lainnya yang dipandang perlu untuk dilibatkan dalam musyawarah diversi. Misalnya adalah penuntut umum.

Dalam musyawarah diversi tanpa persetujuan korban, penuntut umum tidak memiliki suara untuk menentukan keberhasilan musyawarah diversi. Keliru sekali jika berpikir bahwa penuntut umum berhak menggagalkan kesepakatan diversi. Alasannya karena ia hanya hadir sebagai pihak yang berkewajiban melaksanakan kesepakatan diversi dan penetapan hakim berupa menghadirkan Anak serta para pihak. Penuntut umum tidak hadir sebagai kapasitasnya mewakili kepentingan korban karena undang-undang menentukan kondisi yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA tidak membutuhkan persetujuan korban. Selanjutnya, rekomendasi yang dapat dituangkan dalam kesepakatan diversi adalah:
a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Dari opsi di atas, hakim dapat menanyakan kesediaan Anak untuk menjalankan rekomendasi yang akan dituangkan dalam kesepakatan diversi dengan memperhatikan latar belakang mental, ekonomi, pendidikan, dan kepentingan Anak. Apabila Anak setuju dengan opsi yang direkomendasikan, hakim memerintahkan supaya pembimbing kemasyarakatan dan penuntut umum melaksanakan kesepakatan diversi dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan baik seluruhnya maupun sebagian dalam waktu yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan segera melaporkannya kepada ketua pengadilan negeri dengan tembusan kepada penuntut umum untuk ditindaklanjuti dalam proses peradilan pidana.