Implikasi Pernyataan Sikap Terdakwa Terhadap Putusan dalam Perkara Penggabungan Dakwaan

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

KUHAP menyatakan bahwa setelah hakim membacakan putusan, terdakwa dapat menyatakan sikap berupa: menerima putusan, menyatakan banding, atau pikir-pikir selama tujuh hari. Yang menjadi pertanyaan dalam perkara penggabungan dakwaan, apakah pernyataan oleh salah satu terdakwa mengikat juga bagi terdakwa lainnya dalam berkas yang sama? Misalnya, dalam suatu perkara hakim menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama tiga tahun. Terhadap putusan tersebut penuntut umum dan terdakwa I menyatakan menerima putusan sedangkan terdakwa II menyatakan upaya hukum banding. Konsekuensinya, apakah pengadilan tinggi hanya berwenang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa II yang mengajukan banding tersebut atau secara otomatis memeriksa dan mengadili keseluruhan perkara termasuk terhadap terdakwa I yang sebelumnya telah menyatakan menerima putusan?

Pada mulanya saya memiliki hipotesis bahwa ya, pengadilan tinggisecara otomatis memeriksa seluruh perkara terdakwa I dan II karena sebagai judex factie, pengadilan tinggibertugas untuk memeriksa ulang seluruh alat bukti dan fakta hukum secara menyeluruh. Akibatnya, mungkin saja ada konsekuensi perubahan putusan bagi terdakwa I walaupun hanya terdakwa II yang menyatakan banding karena saya menganggap terdakwa I dan II merupakan satu kesatuan berkas. 

Namun, setelah beberapa hari berkontemplasi saya akhirnya memiliki jawaban final bahwa tidak, pengadilan tinggi hanya dapat memeriksa terdakwa II yang menyatakan banding dan tidak dapat memeriksa ulang terdakwa I yang sebelumnya telah menyatakan menerima putusan. Logikanya adalah walaupun penuntut umum mengajukan perkara dalam bentuk penggabungan dakwaan, akan tetapi hal tersebut tidak serta merta memperkosa hak bagi masing-masing terdakwa untuk menyatakan sikap terhadap putusan secara otonom sebagaimana apabila dakwaan dilimpahkan secara terpisah (splitsing).  

Contoh rekonstruksi: apabila dalam kasus di awal berkas terdakwa I dan II dilimpahkan secara terpisah maka tentu saja pernyataan upaya hukum terdakwa II sama sekali tidak akan mempengaruhi status hukum dari putusan terdakwa I yang telah menyatakan menerima putusan. Akan tetapi akan sangat janggal dan sama sekali tidak memenuhi nilai kepastian hukum apabila dalam penggabungan dakwaan, pengadilan tinggi kembali memeriksa perkara terdakwa I dengan asumsi bahwa terdakwa I dan terdakwa II merupakan satu kesatuan berkas. Argumentasi awal saya yang menganalogikan upaya hukum penggabungan dakwaan dalam perkara pidana seperti sebagaimana dalam perkara perdata juga tidak tepat karena dalam perkara perdata, masing-masing subjek sebenarnya terikat pada satu objek keperdataan yang sama sedangkan dalam perkara pidana, masing-masing subjek terikat dengan objek perkaranya secara mandiri dan otonom. Oleh karena itu, saya berkesimpulan bahwa pernyataan sikap terdakwa dalam perkara penggabungan dakwaan hanya mengikat terbatas hanya kepada terdakwa yang mengajukan upaya hukum saja tanpa bisa memengaruhi putusan terdakwa lain walaupun dalam berkas yang sama. 

Akan tetapi, dalam contoh di atas terdapat pengecualian bahwa apabila penuntut umum yang mengajukan upaya hukum maka upaya hukum tersebut secara otomatis mengikat kepada seluruh terdakwa. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan perspektif antara penuntut umum dengan terdakwa: penuntut umum memiliki kepentingan terhadap suatu berkas mulai dari tahapan dakwaan, pemeriksaan, tuntutan, putusan hingga upaya hukum secara konsisten dan holistik terhadap seluruh terdakwa sedangkan apabila dari sudut terdakwa, setiap terdakwa memiliki kepentingan yang masing-masing berdiri sendiri walaupun mereka disatukan dalam satu berkas dakwaan. Kesimpulannya, tujuan dari penggabungan dakwaan untuk mencapai asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan tidak boleh mengeliminasi hak dari masing-masing terdakwa untuk menyatakan sikap terhadap putusan hakim secara mandiri sebagaimana apabila para terdakwa diperiksan secara terpisah. Pendapat ini diperkuat pula oleh yurisprudensi putusan MA No. 51 K/Pid/1983 dan No. 150 K/Kr/1972 yang pada pokoknya: “Karena yang banding hanya terdakwa III, Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini sejauh mengenai terdakwa I, II, IV, dan VI.