Ius Constituendum Saksi Mahkota

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim. Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada penuntut umum untuk menuntut secara terpisah (splitsing) jika menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana oleh beberapa orang tersangka. Akan tetapi, tidak semua berkas penuntutan dapat di-split, melainkan terbatas hanya terhadap perkara yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 141 KUHAP tentang penggabungan perkara. Selanjutnya, saksi yang diambil dari terdakwa pada berkas yang berbeda inilah yang dalam praktik disebut sebagai saksi mahkota (kroongetuige).

Ius Constitutum
Ada beberapa kritik terhadap praktik pelaksanaan splitsing sebagaimana dikutip dari tulisan Handoko Tjondroputranto berjudul KUHAP Tidak Membenarkan Pemecahan (Splitsing) pada Satu Perkara Tindak Pidana. Alasan pertama adalah karena splitsing bertentangan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Selanjutnya alasan kedua dan yang lebih prinsipiel, praktik tersebut merupakan pelanggaran HAM berupa compelled to testify against himself (dipaksa untuk bersaksi memberatkan dirinya sendiri) pada Article 14 paragraph 3 (g) of The International Convenant on Civil and Politicial Rights.Salah satu yurisprudensi yang koheren dengan pendapat ini adalah putusan MA No. 1174 K/Pid/1994 dalam kasus besar pembunuhan buruh Marsinah. Majelis hakim kala itu tidak membenarkan terdakwa bergantian dijadikan saksi dengan alasan: “… para saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang sama dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia ….”

Prof. Dr. jur. Andi Hamzah adalah ahli hukum yang menyetujui splitsing dalam praktik peradilan. Menurut cendekiawan yang dulu menjabat sebagai jaksa dalam buku berjudul Hukum Acara Pidana Indonesiasplitsing memiliki makna yang berbeda dengan saksi mahkota. “Bergantian menjadi saksi itu bukanlah saksi mahkota (kroongetuige). Saksi mahkota berarti salah seorang terdakwa (biasanya adalah yang paling ringan kesalahannya) dijadikan (dilantik) menjadi saksi, jadi seperti diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi.” Dalam aturan paling mutakhir, MA juga membenarkan praktik splitising sebagaimana tercantum pada Rumusan Hukum Kamar Pidana Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pengajuan saksi mahkota memungkinkan apabila memenuhi syarat: a) Perkara tersebut di-split; b) Terdakwa dalam kedudukan sebagai saksi diberitahukan tentang hak-haknya dan konsekuensi hukumnya; dan c) Dalam perkara tersebut alat bukti sangat minim.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terdakwa sebenarnya dapat memperoleh keringanan hukuman apabila bersaksi pada kasus yang sama dengan terdakwa yang berbeda. Penilaian tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan hakim dan dapat dipertimbangkan sebagai keadaan yang meringankan.

Ius Constituendum
Pasal 200 RKUHAP yang diakses dari https://antikorupsi.org/ pada 12 Juli 2021 secara tegas mengakui eksistensi saksi mahkota (kroon getuigen/crown witness) sebagai berikut:
(1) Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan Saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, apabila Saksi membantu mengungkapkan keterlibatan tersangka lain yang patut dipidana dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tidak ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka tersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah berdasarkan Pasal 199 dan membantu secara substantif mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain dapat dikurangi pidananya dengan kebijaksanaan hakim pengadilan negeri.
(3) Penuntut umum menentukan tersangka atau terdakwa sebagai saksi mahkota.

Dari pasal teks di atas, ada beberapa kaidah yang dapat disimpulkan. Dari frasa “… dalam perkara yang sama …” pada ayat (1), pembuat undang-undang hendak membatasi keberlakuan saksi mahkota hanya dalam delik penyertaan (deelneming) dan dilakukan oleh lebih dari satu orang (“Salah seorang tersangka atau terdakwa…”). Contoh: A dan B turut serta melakukan tindak pidana penganiayaan dengan cara A (pleger) memukuli korban, sedangkan B (medeplegen) berperan memegangi korban agar tidak dapat melarikan diri. Karena peran B adalah yang paling ringan, maka B dapat dibebaskan dari penuntutan apabila bersedia bersaksi dalam perkara terdakwa A.

Pada ayat (2), jika peran seluruh pelaku sama berat dan tidak ada yang lebih ringan, maka pelaku yang mengaku bersalah dan bersedia bersaksi di perkara terdakwa lain dapat memperoleh pengurangan pidana sesuai kebijaksanaan hakim. Contoh: A dan B melakukan tindak pidana penganiayaan dengan cara bersama-sama memukuli korban (plegen). Karena peran A dan B tidak ada yang lebih ringan dibandingkan yang lain, maka dalam perkara tersebut tidak ada satu pun yang dapat dijadikan sebagai saksi mahkota. A dan B hanya dapat memperoleh keringanan hukuman jika mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 199 RKUHAP. Akan tetapi, klausul ini hanya berlaku dalam delik dengan ancaman pidana ≤ tujuh tahun. Ketentuan ini disebut dengan “Jalur Khusus” atau plea bergaining serta telah lazim dalam sistem common law. Selanjutnya, dalam pasal ini berlaku pula pembatasan strafmacht menjadi 2/3 dari maksimum ancaman pidana yang didakwakan sebagai wujud pengurangan hukuman bagi terdakwa yang kooperatif.

Dalam ayat (3), pihak yang berwenang menentukan siapa tersangka atau terdakwa sebagai saksi mahkota adalah penuntut umum. Hal ini telah sesuai dengan asas dominus litis yaitu jaksa sebagai penguasa perkara. Selain itu, Pasal 200 RKUHAP ayat (1) merupakan perluasan asas oportunitas (penyampingan perkara demi kepentingan umum) yang sebelumnya merupakan hak eksklusif jaksa agung berdasarkan amanat Pasal 35 huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.