Teori Pembuktian Acara Pidana dalam Logika Matematika

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Pasal 183 KUHAP menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Apabila dicermati, maka relasi antara premis “sekurang-kurangnya dua alat bukti” dengan “keyakinan hakim” adalah bersifat implikatif/sebab akibat (=>), bukan bersifat konjungtif maupun kumulatif (Ʌ).

Kesalahan yang sering terjadi dalam praktik adalah simplifikasi penyebutan ketentuan Pasal 183 KUHAP menjadi: “hakim menjatuhkan pidana dengan dua alat bukti dan keyakinan hakim.” Apabila dibuat dalam logika matematika, maka akan terlihat perbedaan penyebutan pada paragraf sebelumnya yang benar sesuai KUHAP dengan paragraf kedua ini yang mengandung simplifikasi sebagai berikut:

p: sekurang-kurangnya dua alat bukti bahwa terdakwa bersalah.
q: keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah.

  1. p Ʌ q = sekurang-kurangnya dua alat bukti bahwa terdakwa bersalah dan keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah.
  2. p => q = sekurang-kurangnya dua alat bukti bahwa terdakwa bersalah maka timbul keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah.

Pada poin pertama, penggunaan penghubung “dan/Ʌ” mengakibatkan tidak perlu adanya tautan kausal antara premis “sekurang-kurangnya dua alat bukti bahwa terdakwa bersalah” dengan premis “keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah” untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Karena masing-masing premis berdiri sendiri maka ingkaran premis “keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah” yaitu: “keyakinan hakim bahwa terdakwa tidak bersalah” dengan sendirinya tidak perlu koheren maupun terikat dengan premis “sekurang-kurangnya dua alat bukti bahwa terdakwa bersalah”. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menganut teori pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijstheorie).

Bahaya simplifikasi penyebutan penghubung “dan (Ʌ)” adalah dapat mengakibatkan salah kaprah bahwa seakan-akan KUHAP menganut teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (conviction intime). Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian jenis ini pernah dianut di pengadilan distrik dan kabupaten di Indonesia. Kala itu, hakim dapat saja menyebutkan apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium roh atau dukun. Contoh: penuntut umum telah menghadirkan dua alat bukti dalam persidangan yang menyatakan terdakwa telah melakukan tindak pidana pencurian. Namun karena keyakinan hakim berdiri sendiri tanpa perlu terikat dengan alat bukti, maka hakim dapat menyatakan terdakwa tidak bersalah hanya cukup dengan keyakinan dari mimpi yang dialami hakim tadi malam (p Ʌ ~q).

Dalam hal hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, ketidakyakinan ini pun harus bersumber dari dua alat bukti yang sah. Pendapat ini berangkat dari penafsiran a contrario pokok ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu: hakim menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah apabila ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah. Jika ketentuan tersebut ditafsirkan secara negatif, maka akan didapat kaidah hukum: hakim tidak menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah apabila ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwa tidak bersalah. 

Persamaan logika matematika penjelasan sebelumnya adalah sebagai berikut:

p: sekurang-kurangnya dua alat bukti bahwa terdakwa bersalah.
q: keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah.

~p: sekurang-kurangnya dua alat bukti bahwa terdakwa tidak bersalah.
~q: keyakinan hakim bahwa terdakwa tidak bersalah.

  1. p => q = sekurang-kurangnya dua alat bukti bahwa terdakwa bersalah maka timbul keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah.
  2. ~p => ~q = sekurang-kurangnya dua alat bukti bahwa terdakwa tidak bersalah maka timbul keyakinan hakim bahwa terdakwa tidak bersalah.

Dalam peradilan pidana (criminal trial), hakim memutus perkara dengan pendekatan beyond reasonable doubt, artinya memang tidak ada keraguan yang beralasan bahwa terdakwa memang melakukan tindak pidana (minimal 100%). Ketentuan ini berbeda dengan peradilan perdata (civil trial) yang mengaplikasikan pendekatan preponderance of the evidence, atinya hakim memutus berdasarkan bahwa bukti salah satu pihak lebih kuat daripada pihak lawan (minimal 50 +1).