Konsep Plea Bargaining dalam Mekanisme Jalur Khusus RKUHAP

Oleh: Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot)

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

Dalam pembaharuan sistem peradilan pidana di Indonesia, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) memperkenalkan suatu model baru penyelesaian perkara yang mengadopsi prosedur yang mirip dengan istilah plea bargaining. Black’s Law Dictionary mendefinisikan plea bargaining sebagai proses di mana terdakwa dan jaksa menyelesaikan perkara pidana secara saling menguntungkan dengan persetujuan pengadilan. Berdasarkan data dari Sourcebook of Criminal Justice Statistics, rata-rata jumlah perkara pidana yang diputus melalui mekanisme plea bargaining di United States District Courts (setara dengan pengadilan tingkat pertama di Indonesia) sepanjang tahun 2007 hingga 2009 ternyata mencapai angka hingga 96,7%. 

Dalam RKUHAP, konsep plea bargaining terwujud melalui Bagian Keenam Jalur Khusus Pasal 199. Pada Pasal 199 ayat (1) RKUHAP, prosedur plea bargaining bermula setelah penuntut umum selesai membacakan surat dakwaan. Apabila terdakwa mengaku bersalah, maka penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat. Prosedur tersebut agak berbeda jika dibandingkan dengan sistem di Amerika Serikat yang menentukan bahwa “negosiasi” tentang pengakuan bersalah hanya melibatkan penuntut umum dan terdakwa tanpa boleh dihadiri oleh hakim. Aturan ini tercantum dalam Rule 11 (c) Plea Agreement Procedure of Federal Rules of Criminal Procedureyang menyatakan: “An attorney for the government and the defendant’s attorney, or the defendant when proceeding pro se, may discuss and reach a plea agreement. The court must not participate in these discussions.” (Terjemahan bebas: “Penuntut umum dan penasihat hukum, atau terdakwa sendiri, dapat berunding dan mencapai kesepakatan pembelaan. Pengadilan tidak boleh terlibat dalam perundingan tersebut.”) Perbedaan lainnya adalah mekanisme Jalur Khusus hanya tetapi terbatas bagi tindak pidana dengan ancaman pidana ≤ tujuh tahun. Hal ini berbeda dengan praktik plea bargaining di Amerika Serikat yang dimungkinkan untuk segala jenis tindak pidana, termasuk yang diancam dengan pidana mati.

Menurut saya, tujuan pembuat undang-undang mengatur keterlibatan hakim dalam proses plea bargaining adalah agar hakim memiliki fungsi dual control untuk menghindari potensi intimidasi penuntut umum kepada terdakwa agar bersedia mengaku. Tujuannya tentu supaya praktik peradilan tidak berubah menjadi sistem inquisitoir yang mengejar pengakuan semata dan hanya memandang terdakwa sebagai objek. Dalam terminologi Graham Hughes, praktik dalam RKUHAP sebenarnya lebih cocok disebut sebagai pleas without bargains karena terdakwa tidak memiliki hak untuk bernegosiasi dengan penuntut umum.

Secara tersirat, dapat disimpulkan bahwa di awal persidangan hakim tetap membuka sidang dengan acara pemeriksaan biasa karena belum diketahui apakah terdakwa akan mengaku atau tidak. Dalam hal terdakwa tidak mengaku bersalah, maka sidang tetap dilanjutkan dengan acara pemeriksaan biasa. Akan tetapi apabila ternyata terdakwa mengaku bersalah, maka acara pemeriksaan biasa tersebut dapat berubah menjadi acara pemeriksaan singkat. Penerapan ini memang sangat serasi dalam konsep plea bargaining karena dalam Pasal 198 RKUHAP karena karakteristik acara pemeriksaan singkat adalah “… yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.”

Dari segi hukum acara, pemeriksaan singkat memungkinkan hakim untuk langsung memutus perkara pada hari persidangan pertama atau maksimal setelah dua kali persidangan. Hal tersebut dikarenakan dalam acara pemeriksaan singkat, penuntut umum langsung menghadapkan terdakwa beserta saksi, barang bukti, ahli, dan juru bahasa apabila diperlukan, sedangkan pada agenda dakwaan, tuntutan (requisitoir), pembelaan terdakwa maupun tanggapan penuntut umum, seluruhnya dilaksanakan secara lisan. Keuntungan bagi hakim, karena persidangan dipimpin dengan hakim tunggal sebagaimana ketentuan Pasal 198 ayat (6) RKUHAP maka tidak diperlukan musyawarah dan putusan tidak perlu dibuat secara khusus, akan tetapi cukup dicatat dalam berita acara sidang. 

Perlu diingat bahwa walaupun terdakwa telah mengaku, akan tetapi fakta tersebut tidak menggugurkan kewajiban penuntut umum untuk melakukan proses pembuktian. Tidak berbeda dengan KUHAP Tahun 1981, Pasal 174 RKUHAP masih menganut sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijs theorie) sehingga masih diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang menimbulkan keyakinan bagi hakim. Karena pengakuan pleas bargaining hanya bernilai sebagai satu alat bukti keterangan terdakwa, maka penuntut umum masih perlu menghadirkan minimal satu alat bukti tambahan lain yang tercantum dalam Pasal 175 RKUHAP.

Yang menjadi masalah adalah RKUHAP tidak menjelaskan bagaimana prosedur perubahan dari acara pemeriksaan biasa menjadi acara pemeriksaan singkat. Apakah cukup secara lisan, dengan penetapan, atau hakim perlu mengembalikan berkas kepada penuntut umum agar dilimpahkan kembali dengan acara pemeriksaan singkat? Apalagi perubahan jenis acara pemeriksaan dalam persidangan pasti mengakibatkan pula perubahan data dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara. Selain itu dalam Pasal 11 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, acara pemeriksaan biasa seharusnya tetap diperiksa oleh majelis dengan susunan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim. Akan tetapi, Pasal 198 ayat (6) RKUHAP sendiri menyatakan bahwa sidang perkara singkat dilakukan dengan hakim tunggal. Apakah jika terjadi perubahan jenis acara pemeriksaan menjadi singkat maka susunan majelis turut berubah menjadi tunggal? Permasalahan ini tentu masih membutuhkan peraturan pelaksanaan sebagai pedoman bagi hakim.

Pasal 199 ayat (2) RKUHAP menyatakan bahwa jika terdakwa bersedia mengaku, maka dibuatlah suatu berita acara yang ditandatangani oleh terdakwa dan penuntut umum. Kemudian pada Pasal 199 ayat (3) RKUHAP, hakim memberitahu terdakwa mengenai haknya yang hilang, lamanya pidana yang mungkin dijatuhkan, serta menanyakan apakah pengakuan diberikan secara sukarela. Menurut saya, kedua ayat ini seharusnya diletakkan secara terbalik, yaitu hakim terlebih dahulu memberitahu apa benefits dan drawbacks jika terdakwa bersedia atau tidak bersedia mengaku. Setelah terdakwa memahami segala konsekuensi hukumnya, barulah ia dapat dengan bijak menentukan apa opsi yang terbaik bagi dirinya. Konyol sekali jika terjadi peristiwa yaitu terdakwa bersedia mengaku karena mulanya ia mengira bahwa pengakuan tersebut akan membebaskannya, alih-alih baru kemudian ia diberitahu bahwa hanya memperoleh keringanan berupa maksimal ancaman hukuman menjadi 2/3. Situasi demikian bisa terjadi karena terdakwa sama sekali tidak memperoleh informasi yang cukup untuk membuat keputusan. Dalam perkara People v. Superior Court (Giron) tahun 1974, Supreme Court of California memutuskan bahwa plea bargaining dapat dibatalkan apabila terdakwa tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai implikasi pengakuannya. RKUHAP juga tidak mengatur bagaimana jika setelah pengakuan dibuat dan dicatat dalam berita acara, terdakwa tiba-tiba mencabut pengakuan bersalah di tengah proses persidangan. Apakah berita acara pengakuan tersebut serta merta menjadi batal? Apakah penuntut umum perlu mengembalikan acara pemeriksaan singkat menjadi acara pemeriksaan biasa lagi karena sifat penerapan hukum mudah dan sederhananya menjadi hilang?

Pada ayat (4), hakim memiliki kewenangan untuk menolak pengakuan terdakwa, misalnya ada keraguan bahwa pengakuan diberikan di bawah ancaman, keterangan yang diberikan dalam pengakuan tidak logis, atau pengakuan bertujuan untuk melindungi pelaku yang sebenarnya. Aturan ini conform dengan Rule 11 (5) Rejecting a Plea Agreement of Federal Rules of Criminal Procedure yang menyatakan: “If the court rejects a plea agreement containing provisions of the type specified in Rule 11(c)(1)(A) or (C), …” (Terjemahan bebas: “Jika pengadilan menolak perjanjian pembelaan yang berisi ketentuan dari jenis yang ditentukan dalam Aturan 11(c)(1)(A) or (C) ….”)

Ayat (5) menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana melebih 2/3 dari maksimum ancaman pidana atau paling tinggi 4 tahun dan 8 bulan (56 bulan) dari ancaman tertinggi 7 tahun. Pengurangan hukuman ini adalah bentuk reward kepada terdakwa yang bersedia mengaku sehingga perkara dapat diselesaikan secara cepat dan efisien. Ketentuan pada ayat ini otomatis juga menyimpang dari Pasal 198 ayat (5) RKUHAP yang menyatakan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap terdakwa dalam acara pemeriksaan singkat paling lama adalah tiga tahun.