Konsep Dekonstruksi Biaya Perkara dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

I. Biaya Perkara dalam KUHAP

Pasal 197 huruf i KUHAP menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. Selanjutnya, Pasal 222 KUHAP menyatakan siapa pun yang dijatuhi pidana maka ia dibebani untuk membayar biaya perkara kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada negara. 

KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan biaya perkara. Namun, dalam hukum acara perdata sebagaimana ketentuan Pasal 181 HIR/192 RBg jo. Pasal 58 RV pihak yang dikalahkan diwajibkan untuk membayar biaya perkara. Biaya tersebut antara lain terdiri atas biaya meterai, proses, PNBP, panggilan, sita, dll. Apabila dianalogikan dengan perkara perdata, maka biaya perkara dalam pidana adalah beban keuangan yang timbul untuk mengadili terdakwa dan harus dibayarkan apabila terdakwa dinyatakan bersalah. Lebih lanjut lagi, angka 27 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 menyatakan bahwa biaya perkara minimal adalah Rp500,00 dan maksimal Rp10.000,00 dengan penjelasan maksimal Rp7.500,00 pada pengadilan tingkat pertama dan Rp2.500,00 untuk pengadilan tingkat banding. 

II. Dekonstruksi Biaya Perkara dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)

Menurut Barbara Johnson, dekonstruksi adalah strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks dengan tujuan mengungkai oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Karena itu, jika sebuah teks didekonstruksi yang dihancurkan bukanlah makna tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar ketimbang pemaknaan lain yang berbeda. Bisa dibilang bahwa dekonstruksi merupakan serangan balik terhadap logosentrisme dalam tradisi filsafat Barat yang memprioritaskan suatu kebenaran absolut nan universal mengatasi ruang dan waktu.

Pasal 16 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA menyatakan bahwa ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Artinya, karena dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA tidak mengatur mengenai ketentuan biaya perkara maka terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dibebankan pula untuk membayar biaya perkara sebagaimana dalam Pasal 222 KUHAP. 

Pasal 71 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA menyatakan apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Sesungguhnya, nilai semangat yang disematkan pembentuk undang-undang dalam norma Pasal 71 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA adalah agar dalam SPPA, Anak yang Berkonflik dengan Hukum tidak dibebankan biaya apa pun. Pemaknaan pembebanan biaya perkara kepada Anak yang Berkonflik dengan Hukum sesuai Pasal 222 KUHAP akan melahirkan suatu kontradiksi apabila ditubrukkan dengan ketentuan Pasal 71 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA. Hal tersebut disandarkan kepada pertanyaan mengapa terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dihindarkan dari beban membayar pidana denda namun tetap dibebankan membayar biaya perkara? 

Kemelitan mengenai biaya perkara juga ditemui dalam perkara praperadilan. Karena KUHAP tidak menjelaskan tata cara pembebanan biaya perkara, D.Y. Witanto melalui buku Hukum Acara Praperadilan dalam Teori dan Praktik: Mengurai Konflik Norma dan Kekeliruan dalam Praktik Penanganan Perkara Praperadilan memberikan tiga alternatif empiris pembebanan biaya perkara dalam perkara praperadilan sebagai berikut:

  1. Membebankan biaya perkara kepada yang pemohon apabila permohonan pemohon ditolak, gugur atau dinyatakan tidak dapat diterima; atau membebankan biaya perkara kepada negara apabila permohonan dikabulkan;
  2. Membebankan biaya perkara kepada negara terlepas pihak mana pun yang menang; atau
  3. Sama sekali tidak mencantumkan sama sekali mengenai biaya perkara dalam amar putusan.

Kembali ke pembahasan mengenai pidana denda dalam Pasal 71 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA, konstruksi awal dari lahirnya ketentuan pasal tersebut adalah demi mewujudkan asas-asas yang tercantum dalam Pasal 2 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA, terutama asas pelindungan serta kepentingan terbaik bagi anak. Logikanya apabila negara melindungi Anak yang Berkonflik dengan Hukum dari pidana denda dengan cara mengonversi pidana denda menjadi pelatihan kerja, maka seharusnya hakim juga diberikan kewenangan untuk menihilkan atau minimal membebankan biaya perkara yang memiliki jumlah lebih kecil daripada pidana denda kepada negara. 

III. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh uraian di atas, penulis mengusulkan suatu pemaknaan ulang atau dekonstruksi terhadap ketentuan biaya perkara dalam 222 KUHAP melalui pendekatan intertekstual. Artinya, interpretasi suatu teks tidak hanya ditafsirkan secara otonom akan tetapi diperlukan sisipan dari teks lain seperti sumber tertulis, adat istiadat, kebudayaan, maupun agama. Dalam konsep penulis, determinan biaya perkara dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA tidak hanya terikat pada Pasal 222 KUHAP akan tetapi wajib pula dimaknai dengan mempertimbangkan asas-asas perlindungan serta kepentingan terbaik bagi anak yang tercantum dalam Pasal 2 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA dan yang secara implisit terkandung dalam Pasal 71 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA. Artinya, biaya perkara dalam perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum seharusnya dibebankan kepada negara. Konstruksi ini mirip dengan angka 3 Rumusan Hukum Kamar Pidana Tahun 2017 yang menyatakan: “… atas dasar peri kemanusiaan dan keadilan yang bermartabat, maka kepada terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, biaya perkara tersebut diambil alih dan dibebankan kepada negara.”