Permasalahan Yuridis Barang Bukti dalam Perkara Splitsing

Disclaimer:  Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dengan tujuan edukatif dan sama sekali tidak mewakili kebijakan intansi.

I. Definisi Barang Bukti

KUHAP tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai definisi barang bukti. Namun dalam Pasal 39 (1) KUHAP kita dapat menemukan uraian mengenai benda yang dapat dikenakan penyitaan yaitu:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Selanjutnya, penjelasan Pasal 46 ayat (1) KUHAP menerangkan benda yang dikenakan penyitaan diperlukan pemeriksaan sebagai barang bukti sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa barang bukti adalah benda yang disita dan diajukan ke persidangan untuk keperluan pembuktian.  

II. Barang Bukti ≠ Alat Bukti

Kaidah yang harus dipegang sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP adalah hakim memutus perkara dengan alat bukti dan bukan dengan barang bukti. Mengajukan barang bukti dalam persidangan sifatnya tidak wajib dan kedudukannya hanya sebatas memberikan keyakinan tambahan kepada hakim.

III. Ketentuan Barang Bukti dalam KUHAP

Pasal 197 huruf i KUHAP menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan salah satunya memuat mengenai biaya perkara dan barang bukti. Ketentuan mengenai barang bukti diatur lebih lanjut dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP yaitu:

  • dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut;
  • dirampas untuk negara;
  • untuk dimusnahkan;
  • untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi; atau
  • jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

IV. Permasalahan Yuridis Barang Bukti dalam Perkara Splitsing

Splitsing atau pemecahan berkas diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang artinya penuntutan dalam berkas yang terpisah terhadap beberapa terdakwa yang melakukan tindak pidana dalam waktu bersamaan. Biasanya penuntut umum (PU) melakukan penuntutan secara splitsing karena tidak ada orang lain yang mengetahui suatu peristiwa pidana selain para terdakwa itu sendiri, misalnya dalam perkara jual beli narkotika atau pencurian dalam keadaan memberatkan.

Berkenaan dengan barang bukti dalam perkara splitsing, dalam praktik di lapangan dapat terjadi kondisi sebagai berikut:

PU melakukan penuntutan secara splitsing terhadap dua orang tersangka menjadi dua berkas perkara yang terpisah, anggaplah namanya A dan B. Namun sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan, tersangka A ternyata kabur dari tahanan dan belum tertangkap hingga perkara tersangka B yang di-split telah diputus dan berkekuatan hukum tetap (BHT). Berkas tersangka A yang kabur tentunya tidak jadi dilimpahkan ke pengadilan karena belum berhasil ditangkap. Beberapa bulan kemudian, A pada akhirnya ditangkap dan diajukan ke persidangan namun terhadap barang bukti yang diajukan oleh PU timbul alternatif situasi sebagai berikut:

  1. PU menggunakan penetapan penyitaan barang bukti dalam berkas perkara B yang telah BHT untuk diajukan dalam perkara A; atau
  2. PU kembali mengajukan persetujuan penyitaan terhadap objek barang bukti dalam perkara B yang telah BHT untuk diajukan dalam perkara A. 

Bagaimana sikap hakim menghadapi kedua situasi di atas?

Dalam kondisi normal (tidak ada tersangka yang kabur) amar putusan mengenai barang bukti dalam perkara splitsing adalah dikembalikan kepada PU karena barang bukti masih diperlukan dalam perkara lain. Bunyi amar dalam putusan kurang lebih sebagai berikut: “Menetapkan barang bukti berupa … dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk digunakan dalam pembuktian perkara Nomor … atas nama Terdakwa …;”.

Yang menjadi permasalahan adalah apabila dalam keadaan tersangka yang perkaranya di-split namun ia melarikan diri dan belum tertangkap, PU ternyata menuntut agar barang bukti dikembalikan kepada yang paling berhak; dirampas untuk negara; untuk dimusnahkan; atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi. Dari sudut pandang PU, hal ini memang sangat logis karena tidak mungkin status barang bukti dinyatakan dikembalikan kepada PU untuk pembuktian tapi perkara tersangka yang kabur belum tentu dapat dilimpahkan ke pengadilan. Namun di sisi lain, tidak tepat pula tindakan PU yang menggunakan penetapan penyitaan barang bukti dalam berkas perkara yang telah BHT; atau apabila PU kembali mengajukan persetujuan penyitaan terhadap barang bukti yang statusnya telah BHT karena:

  1. Pelanggaran asas ne bis in idem. Secara yuridis seharusnya barang bukti telah dieksekusi oleh jaksa dan tidak mungkin dapat diajukan kembali di persidangan terlepas dari keadaan fisik barang bukti tersebut sudah dieksekusi atau belum. Dengan kata lain, terhadap suatu barang bukti tidak dapat diputus dua kali kecuali oleh hakim ditetapkan dikembalikan kepada PU;
  2. Potensi perbedaan amar putusan mengenai status barang bukti. Anggaplah apabila PU “nekat” untuk tetap mengajukan barang bukti yang sebelumnya telah diputus, misal dalam putusan pertama ditetapkan “dirampas untuk negara” namun ternyata dalam putusan kedua atas terdakwa yang berbeda barang bukti yang sama dinyatakan “dikembalikan kepada yang paling berhak”. Hal ini pasti akan menjadi masalah dalam pelaksanaan eksekusi oleh jaksa. 

V. Kesimpulan:

Menurut saya, sikap hakim apabila menemui situasi seperti di atas adalah tidak mempertimbangkan barang bukti yang diajukan di persidangan karena secara yuridis barang bukti tersebut seharusnya telah dieksekusi begitu putusan telah BHT terlepas dari keadaan fisik barang bukti tersebut. Terdengar kaku memang, tapi dalam hukum dikenal asas lex dura sed tamen scripta atau berarti hukum itu keras, namun itulah yang tertulis.